by Tsania Ulfah Muhdin on Thursday, October 20, 2011 at 4:33pm
Selamat malam dunia, maaf aku tidur larut...
Baru saja aku menonton sebuah video kehidupan, emh tepatnya terpisahnya dua kehidupan. Prosesnya sedikit mengerikan, namanya juga “pemisahan”. Tapi setelah berpisah keduanya menjadi indah, mungkin karena dari awalnya sudah indah saat terpisah jadi lebih indah. Yang satu menjadi malaikat penjaga, yang satunya menjadi penentram jiwa. Tapi tunggu, ini bukan surga. Malaikat ini berseragam lain dari yang kau lihat di televisi. Disini si malaikat penjaga memakai baju motif bunga berrenda, dan malaikat penentram jiwa memakai popok. Skenarionya mengharuskan begitu, jadi sudahlah tak usah terheran-heran.
Laptop kumatikan karena tak tega mendengar nafasnya yang ngos-ngosan kepanasan terlalu lama dipakai, tapi tapi tapiiii lengan bajuku jadi panjang sebelah. Oh My god, selagi menonton video tadi aku menarik-narik lengan bajuku sendiri menahan rasa ngilu. Cacat sudah ini baju kesayangan, padahal belinya mahal, katanya handmade, tapi ya sudahlah. Kembali ke si malaikat, oh jangan pake “si” kita panggil saja tuan. Tuan malaikat penjaga itu mukanya adem sekali seperti air terjun, suaranya terdengar berwibawa tapi menenangkan. Sedangkan si tuan malaikat penentram jiwa berwatak ceria dan mempesona. Bagaimana bisa ya, dua malaikat berbeda muncul dari satu titik yang sama. Tapi itulah kenyataannya. Tuan malaikat berpopok itu tadinya menempel pada tuan malaikat berrenda, setelah Tuhan mewisuda tuan malaikat itu dari sekolah alam rahim maka tuan malaikat berpopok itu sudah boleh memisahkan diri untuk menjalani tugasnya sendiri. Maka jadilah ia malaikat penentram jiwa, yang akan menentramkan semesta ini dengan caranya sendiri.
Enam jam setelah aku melihat video itu, aku masih terbawa suasana membayangkan proses pelepasan dua malaikat menjadi dua individu berbeda tadi, betapa malaikat penjaga itu sampai berdarah darah mengeluarkan malaikat penentram jiwa yang kecil dan tak berdaya. Pengukuhan menjadi malaikat itu memang tak gampang, berkorban dengan iklas dan sukacita adalah syaratnya. Takut? Barangkali ini adalah pengecualian. Proses mengerikan ini tak membuat aku takut, aku malah semakin gila ingin melalui proses itu dan bermetamormofis menjadi malaikat yang mungkin seragamnya akan beda lagi.
Sudah hampir pagi, lengan baju yang jebaw aku biarkan saja. Aku harus tidur sejenak sebelum ketahuan ibu aku begadang.
***
Selamat pagi kampus, matahari tak malu malu unjuk gigi pagi ini. Cahayanya membuat si buta saja tahu kalau matahari sedang tersenyum nyengir.
“Bel! Sinii...” tiba-tiba temanku memanggil dari parkiran.
“Apaan? Ada kuliah nih buru-buru...”
“sini dulu deh, ada gosip baru!”
“ah males ah, pagi-pagi sudah bergosip!” aku berkelit mencari alasan biar tak jadi ngobrol saat itu, padahal sebagai perempuan yang memerempuan aku juga suka bergosip.
“yaudah, aku sms nanti ya!” laras mulai putus asa dan pasrah.
“sip!” aku melengos pergi.
Pagi itu aku tak telat masuk kelas pertama, tepatnya lebih dulu dari dosennya yang kesiangan masuk. Tak ada yang spesial untuk mata kuliah itu, jadi kuputuskan duduk dibelakang saja. Tepat disamping Joni, biar ada teman bercanda. Dosen datang, niat bercanda ditunda.
Ditengah dosen mengajar, hanphone-ku berbunyi ada sms...
Bipbiipp...
“bel, si Gita hamil” aku tak kaget karena Gita memang sudah cukup lama menikah. Wajarlah punya anak, kalo ga hamil-hamil malah aneh.
“oh ya syukur... akhirnya hamil juga” aku malas berkomentar lebih banyak.
Bipbiiip... lagi!
“Pulang kuliah jam berapa? Nanti kita ngobrol ya... “
“jam 10.20 aku keluar kelas tunggu di taman ya..”
Sending...
Jam yang dimaksud sudah tiba, tak enak rasanya kalau aku tak menemui Laras di taman.
“hei, Ras” aku duduk disebelahnya dan meraih botol minuman segarnya tanpa permisi.
“Bel, si Gita hamil!”
“iya.. tadi kan udah cerita. Terus?”
“makanya dengerin dulu, Bel... kemaren dia telfon aku dalam keadaan sedih, ga ngerti juga kenapa dia sedih mau punya bayi... harusnya kan seneng ya?” dia berusaha membangkitkan jiwa keibuanku yang sedang tidur.
“ya mana aku tau...” aku mulai terpancing, tapi pura-pura biasa saja.
“sedih ya Bel, kita yang pingin dari dulu malah susah... eh dia yang dikasih cepet malah ga bersyukur...” oh plis Larasati Karim, obrolanmu...
“iya sih, tapi pasti dia punya alasan kuat buat kayak gitu, kita aja yang gak tau karena belum berumah tangga..” aku sok bijak.
“tapi kan Bel... kamu apa ga sayang sama temen kita itu?!” Laras mulai memaksa aku untuk peduli.
“Justru karena aku sayang, aku berusaha menghormati apapun keputusan dia... lagi pula dia belum cerita apa-apa ke aku!” aku mulai panas.
“sedih ya, Bel...” raut wajahmu kusut, aku tahu kesedihan itu tulus. Sedih untuk Gita, dan untuk dirinya sendiri.
“yaudah sih, biarin aja... eh iya, tugas buat kuliah siang nanti udah belum?’ aku mengalihkan perhatian.
“eh belum... hayu kita kerjain... kamu bawa laptop?! Aku minjem dong...”
Pengalihan topik yang aku lancarkan, berhasil. Kita mengerjakan tugas sambil ngobrol topik lain yang santai.
***
Selamat pagi... sebelas hari setelah obrolah di taman bersama Laras...
Bipbiiip...
“Bel, boleh aku nelpon?”
“boleh...”
Today i don’t feel like doing anything, i just wanna la... lagu Lazy Song dari Bruno Mars terdengar, pertanda ada panggilan masuk di handphoneku.
Gita Amelia 07.
“halooo...”
“Bel...” suaranya sedih...
“kenapa Git?”
“aku hamil Bel, tapi aku belum siap punya anak... suami aku masih pingin nabung buat bikin rumah, aku juga belum siap...” Gita langsung pada inti pembicaraan, tak peduli aku yang gelagapan.
Hey... pembicaraan macam apa ini, pagi-pagi begini ngomongin rumah tangga kacrut!
“ehm...” aku baru akan bicara, tapi terpotong.
“aku belum siap Bel, aku sama mas Anton belum mau punya anak... aku kira kemarin Cuma masuk angin, pas aku ke dokter ternyata aku hamil tiga minggu...” suara Gita yang awalnya tinggi mulai melemah.
Aku kesal. Bagaimana bisa orang yang sudah lebih dari setahun menikah, panik karena hamil. Bukannya bagus ya?
“terus aku harus gimana?”
“bel, kemarin mama Yanti ngasih aku jamu peluruh... hari ini aku pendarahan, baru dua kali minum sudah keluar. Tapi liat darah menggelontor begitu aku kok nyesel yah... gatau juga aku harus ngomong ke siapa...”
Giliran cerita bego begini, ceritanya ke aku...
“maaf ya Git, bukan aku ga peduli tapi bingung juga harus jawab apa... ngomong apapun bakal terkesan sok tau... aku belum berumah tangga, belum tau masalah-masalah begitu”
“iya Bel, makasih udah mau dengerin aku... aku gatau lagi harus ngomong ini ke siapa...” Gita terdengar kalut.
“semua udah kejadian, fikirin aja kedepannya kamu mau gimana...”
Tak ada jawaban.
“maaf aku terdengar angkuh dan kurang berempati sama masalah kamu, tapi sejujurnya aku juga bingung harus ngomong apa..”
“iya bel gapapa.. “
Baru aku mengambil nafas untuk bicara, Gita memotong..
“bel udah dulu yah, mama mertuaku datang nanti disambung lagi..”\
Tututuuuuttt...
Handphone terjatuh ke pangkuan, aku masih duduk di ujung tempat tidur. Menerawang apa yang terjadi pada rumah tangga teman kuliahku itu. Satu jam lebih aku duduk begitu. Tapi tetep ga ngerti.
***
Setengah sepuluh pagi, beberapa jam setelah telepon Gita...
Suasana kampus cerah ceria, orang kesana kemari dengan muka bebas. Oh aku baru tahu hari ini akan banyak dosen yang tak masuk karena ada acara ulang tahun kampus. Aku mengedar pandang mencari temanku Ayu dan Laras. Aku berjalan ke bangku taman tempat mereka duduk-duduk cantik.
Disana tak ada Ayu dan laras, aku berinisiatif mengirim multiple sms...
“dimana?”
Aku yang kepanasan memilih merubah haluan menuju kantin, sambil menunggu sms dibalas Ayu dan Laras. Tiga puluh lima menit kemudian...
“Bel dimana? Kita di selasar. Ayu ga ada pulsa.” Sms balasan dari Laras. Aku meluncur kesana.
Mereka berdua mukanya tegang sekali. Aku mendekat dan bertanya basa-basi.
“duduk deh Bel, kita mau cerita...” Laras membuka obrolan. Romannya ini akan serius.
“Bel, Si Widya kabur...”
Ha? Kabur? Adik si Ayu yang baru semester satu itu kabur?
“kabur kemana??” oh, ini pertanyaan bego!
“ya kalo tau mah aku susul Bel...”
“Ehm maaf! Maksudnya kapan dia terakhir keliatan? Kok bisa kabur?”
Ayu terlihat sangat kalut dan tak kuasa menjawab.
Ini hari kok sedih banget, pagi-pagi denger keluhan si Gita, sekarang si Ayu. Semoga sialnya selesai sampai disini.
“si Ayu mergokin si Widya lagi nelpon pacarnya dan ngomongin kehamilan dia sama pacarnya..” Laras memulai, seperti biasanya.
What?? Lagi-lagi tentang kehamilan. Ini maksudnya apa sih?!
“terus...” aku penasaran.
“iya si Widya tau kalo aku dengerin obrolan dia di telpon semalem. Pas pagi-pagi aku bangun dia udah ga ada di rumah, mama panik dan aku ga tau harus gimana. Mama gak tau soal kehamilan Widya, aku juga taunya gak sengaja karena nguping telponan dia di ruang tamu... “ Ayu menimpali.
“udah kamu cari ke temannya..?”
“sudah... aku udah telponin semua teman-temannya tapi ga ada yang tau..” Ayu sedih.
“ehm..” aku mau bicara, tapi Ayu keburu bicara lagi.
“aku takut dia gugurin kandungannya, Bel...” Ayu berbicara nanar.
Aku memeluk Ayu, ini empati betulan.
Tuhan, kenapa yang ga pingin punya anak malah dikasih. Sedangkan yang bertahun-tahun nunggu malah ga dikasih...
aku agak protes dan sedih...
Kita bertiga sedih. Lebih-lebih aku, yang tadi pagi mendengar cerita yang sama-sama bertema kehamilan yang tak diinginkan. Kesedihan dan kegalauan jadi berlipat lipat, bergulung-gulung menerjang isi hati.
Sudah waktunya masuk kuliah, kita pura-pura kuliah. Ya pura-pura, karena yang kuliah itu badan, fikirannya kemana-mana.
Jika sedang tak konsentrasi kuliah aku biasanya lebih sering coret-coret buku. Kadang coret-coret tak bermakna, kadang curhat, kadang menghasilkan sebuah karya kacangan.
Diam-diam aku menulis, dengan ujung pulpen yang aku tutupi dengan punggung tangan biar teman sebelah tak membacanya. Tapi baru satu bait bikin puisi, konsentrasiku buyar. Aku malah ingin membuka laptop dan mencuri sinyal wi-fi kampus. Dan mulailah aku membuka situs tautan video yang paling kusuka. Aku mencari video artis cilik kesayanganku, Jackie Evancho. Tapi rasanya jadi kurang seru kalo terlalu banyak buffering. Aku matikan saja dan aku buka Ms.Word untuk mengetik dan menyalakan winamp yang tentunya sudah lebih dulu kupasang headset. Memutar lagu Jackie Evancho. Aku mulai mengetik tanpa mempedulikan dosen yang bicara di depan sana. Badanku yang mungil sudah terhalang oleh Adit.
Aku baru menulis satu kata... RINDU... aku berhenti mengetik, aku mengedar pandangan ke sekeliling, setelah merasa aman dari perhatian teman-temanku barulah aku bisa menulis lebih banyak lagi.
Aku matikan laptop, bergegas meninggalkan kelas bersama Adit, Ayu, dan Laras.
***
Sembilan hari kemudian...
“Bel aku mau cerita...” Ayu terdengar lesu.
Kita mencari tempat paling sepi untuk bicara. Aku faham betul, ini akan jadi permbicaraan penting dan rahasia.
“Mamah sudah tau soal kehamilan Widya, bel... dan mamah sedang mengusahakan pernikahan Widya minggu depan...” Ayu suaranya berat.
Pernikahan itu... Tuhan, begini ya cara impian kami dihentikan?!
“bayangin aja Bel, pernikahan yang aku impikan seakan hancur. Debaran menikahkanku sebagai anak perempuan pertama akan luntur karena mamah menikahkan Widya lebih dulu..” Ayu semakin emosional.
“sabar aja yu..” aku kehabisan kata-kata.
“aku maunya sabar, tapi... “ tangis Ayu pecah..
Aku memeluk Ayu...
Ayu adalah sahabatku, kami terpaut tiga tahun. Dia lahir lebih dulu. Dunia dia besar, temannya banyak, wawasannya luas. Dia adalah salah satu sahabat terbaikku selain Laras dan Adit. Kami sama-sama terobsesi menikah muda. Bedanya aku lebih cenderung pada ingin jadi ibu, dan dia jadi istri pejabat. Setiap membicarakan itu, matanya selalu berbinar. Aku tau dia sangat menginginkannya.
Tapi kali ini aku melihat dia benar-benar kalut. Mungkin bisa dibilang hancur. Matanya memantulkan cahaya kesedihan, tak lagi berbinar. Mimpinya dirampas oleh adik tirinya sendiri dengan cara yang curang. Dan aku sahabatnya, tak bisa berbuat apa-apa selain ikut bersedih.
***
Pernikahan itu tiba, dan tentu saja tanpa undangan. Suasananya mengerikan, bahkan jauh lebih mengerikan ketimbang sepak bola tanpa penonton. Sucinya pernikahan tak diiringi suka cita, semua senyum alakadarnya hanya untuk foto.
Ayu terbaring sakit, makanya dia tak terlihat dalam kumpulan keluarga besarnya. Aku tahu karena pada saat itu ayu tengah berbaring di balik selimut dengan mata pura-pura terpejam, padahal tangannya sibuk mengetik sms kepadaku. Melaporkan setiap detik pernikahan nista adiknya dengan Tomy.
Aku merasakan sakitnya...
Di bagian bumi yang lain, aku menangis untuk Ayu-ku...
***
Tiga bulan sudah sejak aku mendapat telepon yang berujung kesialan sepanjang hari dari Gita.
Aku dengar dia dan Mas Anton pindah ke luar kota yang jaraknya lebih jauh. Mas Anton pindah kerja katanya. Dari status fesbuknya ia selalu pamer kebahagiaan. Ya bagaimana tidak, suaminya yang bekerja di perusahaan tambang asing pastilah menghasilkan pundi-pundi rupiah yang lebih dari lumayan. Rumahnya baru, dan sebuah city car sering kali jadi bagian dari foto-foto yang di uploadnya.
Sebagaimana pada kesedihan Ayu, yang aku ikut bersedih. ikut sakit pula. Pada kebahagiaan Gita aku malah sebaliknya. Aku melihatnya sebagai kebahagiaan semu dan sulit untuk aku ikut bahagia. Rumah tangga bahagia takkan membiarkan darah dagingnya diguyur kedalam wc. Istri yang bahagia tak mungkin menutup telepon dengan panik saat mama mertua datang mendekat.
Aku melihatnya palsu...
***
Hari ini aku sudah lupa berapa bulan sejak bulan oktober yang menyedihkan itu. Sekitan tiga tahunan lah. Setahun yang lalu aku meninggalkan tempat aku sekolah, aku sudah sarjana. Laras, Ayu dan adit juga.
Aku membuka laptop putih kesayanganku. Ada wallpaper foto wisuda empat orang manusia. Tiga wanita, satu pria.
Masih dalam laptop yang sama, danMs.Word yang belum di upgrade dari yang dulu. Aku mencoba mengetik lagi, kali ini untuk Monik...
Dialah sahabat, rekan kerja, dan saksi betapa aku mencintai hidupku enam tahun ini....
Tulisan menggantung belum selesai, aku sudah ketiduran. Zzzzz....
Baru saja aku menonton sebuah video kehidupan, emh tepatnya terpisahnya dua kehidupan. Prosesnya sedikit mengerikan, namanya juga “pemisahan”. Tapi setelah berpisah keduanya menjadi indah, mungkin karena dari awalnya sudah indah saat terpisah jadi lebih indah. Yang satu menjadi malaikat penjaga, yang satunya menjadi penentram jiwa. Tapi tunggu, ini bukan surga. Malaikat ini berseragam lain dari yang kau lihat di televisi. Disini si malaikat penjaga memakai baju motif bunga berrenda, dan malaikat penentram jiwa memakai popok. Skenarionya mengharuskan begitu, jadi sudahlah tak usah terheran-heran.
Laptop kumatikan karena tak tega mendengar nafasnya yang ngos-ngosan kepanasan terlalu lama dipakai, tapi tapi tapiiii lengan bajuku jadi panjang sebelah. Oh My god, selagi menonton video tadi aku menarik-narik lengan bajuku sendiri menahan rasa ngilu. Cacat sudah ini baju kesayangan, padahal belinya mahal, katanya handmade, tapi ya sudahlah. Kembali ke si malaikat, oh jangan pake “si” kita panggil saja tuan. Tuan malaikat penjaga itu mukanya adem sekali seperti air terjun, suaranya terdengar berwibawa tapi menenangkan. Sedangkan si tuan malaikat penentram jiwa berwatak ceria dan mempesona. Bagaimana bisa ya, dua malaikat berbeda muncul dari satu titik yang sama. Tapi itulah kenyataannya. Tuan malaikat berpopok itu tadinya menempel pada tuan malaikat berrenda, setelah Tuhan mewisuda tuan malaikat itu dari sekolah alam rahim maka tuan malaikat berpopok itu sudah boleh memisahkan diri untuk menjalani tugasnya sendiri. Maka jadilah ia malaikat penentram jiwa, yang akan menentramkan semesta ini dengan caranya sendiri.
Enam jam setelah aku melihat video itu, aku masih terbawa suasana membayangkan proses pelepasan dua malaikat menjadi dua individu berbeda tadi, betapa malaikat penjaga itu sampai berdarah darah mengeluarkan malaikat penentram jiwa yang kecil dan tak berdaya. Pengukuhan menjadi malaikat itu memang tak gampang, berkorban dengan iklas dan sukacita adalah syaratnya. Takut? Barangkali ini adalah pengecualian. Proses mengerikan ini tak membuat aku takut, aku malah semakin gila ingin melalui proses itu dan bermetamormofis menjadi malaikat yang mungkin seragamnya akan beda lagi.
Sudah hampir pagi, lengan baju yang jebaw aku biarkan saja. Aku harus tidur sejenak sebelum ketahuan ibu aku begadang.
***
Selamat pagi kampus, matahari tak malu malu unjuk gigi pagi ini. Cahayanya membuat si buta saja tahu kalau matahari sedang tersenyum nyengir.
“Bel! Sinii...” tiba-tiba temanku memanggil dari parkiran.
“Apaan? Ada kuliah nih buru-buru...”
“sini dulu deh, ada gosip baru!”
“ah males ah, pagi-pagi sudah bergosip!” aku berkelit mencari alasan biar tak jadi ngobrol saat itu, padahal sebagai perempuan yang memerempuan aku juga suka bergosip.
“yaudah, aku sms nanti ya!” laras mulai putus asa dan pasrah.
“sip!” aku melengos pergi.
Pagi itu aku tak telat masuk kelas pertama, tepatnya lebih dulu dari dosennya yang kesiangan masuk. Tak ada yang spesial untuk mata kuliah itu, jadi kuputuskan duduk dibelakang saja. Tepat disamping Joni, biar ada teman bercanda. Dosen datang, niat bercanda ditunda.
Ditengah dosen mengajar, hanphone-ku berbunyi ada sms...
Bipbiipp...
“bel, si Gita hamil” aku tak kaget karena Gita memang sudah cukup lama menikah. Wajarlah punya anak, kalo ga hamil-hamil malah aneh.
“oh ya syukur... akhirnya hamil juga” aku malas berkomentar lebih banyak.
Bipbiiip... lagi!
“Pulang kuliah jam berapa? Nanti kita ngobrol ya... “
“jam 10.20 aku keluar kelas tunggu di taman ya..”
Sending...
Jam yang dimaksud sudah tiba, tak enak rasanya kalau aku tak menemui Laras di taman.
“hei, Ras” aku duduk disebelahnya dan meraih botol minuman segarnya tanpa permisi.
“Bel, si Gita hamil!”
“iya.. tadi kan udah cerita. Terus?”
“makanya dengerin dulu, Bel... kemaren dia telfon aku dalam keadaan sedih, ga ngerti juga kenapa dia sedih mau punya bayi... harusnya kan seneng ya?” dia berusaha membangkitkan jiwa keibuanku yang sedang tidur.
“ya mana aku tau...” aku mulai terpancing, tapi pura-pura biasa saja.
“sedih ya Bel, kita yang pingin dari dulu malah susah... eh dia yang dikasih cepet malah ga bersyukur...” oh plis Larasati Karim, obrolanmu...
“iya sih, tapi pasti dia punya alasan kuat buat kayak gitu, kita aja yang gak tau karena belum berumah tangga..” aku sok bijak.
“tapi kan Bel... kamu apa ga sayang sama temen kita itu?!” Laras mulai memaksa aku untuk peduli.
“Justru karena aku sayang, aku berusaha menghormati apapun keputusan dia... lagi pula dia belum cerita apa-apa ke aku!” aku mulai panas.
“sedih ya, Bel...” raut wajahmu kusut, aku tahu kesedihan itu tulus. Sedih untuk Gita, dan untuk dirinya sendiri.
“yaudah sih, biarin aja... eh iya, tugas buat kuliah siang nanti udah belum?’ aku mengalihkan perhatian.
“eh belum... hayu kita kerjain... kamu bawa laptop?! Aku minjem dong...”
Pengalihan topik yang aku lancarkan, berhasil. Kita mengerjakan tugas sambil ngobrol topik lain yang santai.
***
Selamat pagi... sebelas hari setelah obrolah di taman bersama Laras...
Bipbiiip...
“Bel, boleh aku nelpon?”
“boleh...”
Today i don’t feel like doing anything, i just wanna la... lagu Lazy Song dari Bruno Mars terdengar, pertanda ada panggilan masuk di handphoneku.
Gita Amelia 07.
“halooo...”
“Bel...” suaranya sedih...
“kenapa Git?”
“aku hamil Bel, tapi aku belum siap punya anak... suami aku masih pingin nabung buat bikin rumah, aku juga belum siap...” Gita langsung pada inti pembicaraan, tak peduli aku yang gelagapan.
Hey... pembicaraan macam apa ini, pagi-pagi begini ngomongin rumah tangga kacrut!
“ehm...” aku baru akan bicara, tapi terpotong.
“aku belum siap Bel, aku sama mas Anton belum mau punya anak... aku kira kemarin Cuma masuk angin, pas aku ke dokter ternyata aku hamil tiga minggu...” suara Gita yang awalnya tinggi mulai melemah.
Aku kesal. Bagaimana bisa orang yang sudah lebih dari setahun menikah, panik karena hamil. Bukannya bagus ya?
“terus aku harus gimana?”
“bel, kemarin mama Yanti ngasih aku jamu peluruh... hari ini aku pendarahan, baru dua kali minum sudah keluar. Tapi liat darah menggelontor begitu aku kok nyesel yah... gatau juga aku harus ngomong ke siapa...”
Giliran cerita bego begini, ceritanya ke aku...
“maaf ya Git, bukan aku ga peduli tapi bingung juga harus jawab apa... ngomong apapun bakal terkesan sok tau... aku belum berumah tangga, belum tau masalah-masalah begitu”
“iya Bel, makasih udah mau dengerin aku... aku gatau lagi harus ngomong ini ke siapa...” Gita terdengar kalut.
“semua udah kejadian, fikirin aja kedepannya kamu mau gimana...”
Tak ada jawaban.
“maaf aku terdengar angkuh dan kurang berempati sama masalah kamu, tapi sejujurnya aku juga bingung harus ngomong apa..”
“iya bel gapapa.. “
Baru aku mengambil nafas untuk bicara, Gita memotong..
“bel udah dulu yah, mama mertuaku datang nanti disambung lagi..”\
Tututuuuuttt...
Handphone terjatuh ke pangkuan, aku masih duduk di ujung tempat tidur. Menerawang apa yang terjadi pada rumah tangga teman kuliahku itu. Satu jam lebih aku duduk begitu. Tapi tetep ga ngerti.
***
Setengah sepuluh pagi, beberapa jam setelah telepon Gita...
Suasana kampus cerah ceria, orang kesana kemari dengan muka bebas. Oh aku baru tahu hari ini akan banyak dosen yang tak masuk karena ada acara ulang tahun kampus. Aku mengedar pandang mencari temanku Ayu dan Laras. Aku berjalan ke bangku taman tempat mereka duduk-duduk cantik.
Disana tak ada Ayu dan laras, aku berinisiatif mengirim multiple sms...
“dimana?”
Aku yang kepanasan memilih merubah haluan menuju kantin, sambil menunggu sms dibalas Ayu dan Laras. Tiga puluh lima menit kemudian...
“Bel dimana? Kita di selasar. Ayu ga ada pulsa.” Sms balasan dari Laras. Aku meluncur kesana.
Mereka berdua mukanya tegang sekali. Aku mendekat dan bertanya basa-basi.
“duduk deh Bel, kita mau cerita...” Laras membuka obrolan. Romannya ini akan serius.
“Bel, Si Widya kabur...”
Ha? Kabur? Adik si Ayu yang baru semester satu itu kabur?
“kabur kemana??” oh, ini pertanyaan bego!
“ya kalo tau mah aku susul Bel...”
“Ehm maaf! Maksudnya kapan dia terakhir keliatan? Kok bisa kabur?”
Ayu terlihat sangat kalut dan tak kuasa menjawab.
Ini hari kok sedih banget, pagi-pagi denger keluhan si Gita, sekarang si Ayu. Semoga sialnya selesai sampai disini.
“si Ayu mergokin si Widya lagi nelpon pacarnya dan ngomongin kehamilan dia sama pacarnya..” Laras memulai, seperti biasanya.
What?? Lagi-lagi tentang kehamilan. Ini maksudnya apa sih?!
“terus...” aku penasaran.
“iya si Widya tau kalo aku dengerin obrolan dia di telpon semalem. Pas pagi-pagi aku bangun dia udah ga ada di rumah, mama panik dan aku ga tau harus gimana. Mama gak tau soal kehamilan Widya, aku juga taunya gak sengaja karena nguping telponan dia di ruang tamu... “ Ayu menimpali.
“udah kamu cari ke temannya..?”
“sudah... aku udah telponin semua teman-temannya tapi ga ada yang tau..” Ayu sedih.
“ehm..” aku mau bicara, tapi Ayu keburu bicara lagi.
“aku takut dia gugurin kandungannya, Bel...” Ayu berbicara nanar.
Aku memeluk Ayu, ini empati betulan.
Tuhan, kenapa yang ga pingin punya anak malah dikasih. Sedangkan yang bertahun-tahun nunggu malah ga dikasih...
aku agak protes dan sedih...
Kita bertiga sedih. Lebih-lebih aku, yang tadi pagi mendengar cerita yang sama-sama bertema kehamilan yang tak diinginkan. Kesedihan dan kegalauan jadi berlipat lipat, bergulung-gulung menerjang isi hati.
Sudah waktunya masuk kuliah, kita pura-pura kuliah. Ya pura-pura, karena yang kuliah itu badan, fikirannya kemana-mana.
Jika sedang tak konsentrasi kuliah aku biasanya lebih sering coret-coret buku. Kadang coret-coret tak bermakna, kadang curhat, kadang menghasilkan sebuah karya kacangan.
Diam-diam aku menulis, dengan ujung pulpen yang aku tutupi dengan punggung tangan biar teman sebelah tak membacanya. Tapi baru satu bait bikin puisi, konsentrasiku buyar. Aku malah ingin membuka laptop dan mencuri sinyal wi-fi kampus. Dan mulailah aku membuka situs tautan video yang paling kusuka. Aku mencari video artis cilik kesayanganku, Jackie Evancho. Tapi rasanya jadi kurang seru kalo terlalu banyak buffering. Aku matikan saja dan aku buka Ms.Word untuk mengetik dan menyalakan winamp yang tentunya sudah lebih dulu kupasang headset. Memutar lagu Jackie Evancho. Aku mulai mengetik tanpa mempedulikan dosen yang bicara di depan sana. Badanku yang mungil sudah terhalang oleh Adit.
Aku baru menulis satu kata... RINDU... aku berhenti mengetik, aku mengedar pandangan ke sekeliling, setelah merasa aman dari perhatian teman-temanku barulah aku bisa menulis lebih banyak lagi.
Rindu adalah rindu. Aku tak mau berdebat dengan siapapun mengenai rindu. Kan kubiarkan semua orang menerjemahkan rindu itu sesukanya. Jika kau mau tau rasanya rinduku itu bagaimana, maka akan aku ceritakan bagaimana gelisahnya aku jika jalan-jalan ke mall lalu melewatkan toko pernak pernik bayi, atau betapa aku hafal setiap fase kehidupan bayi dari prenatal-neonatal-postnatal karena seringnya aku membaca semua tentang itu agar nanti tak salah kaprah. Maka itulah rasa rinduku yang sebenarnya, rasa rindu yang tak hanya diketik jempol tapi dijalani oleh setiap ruas jiwa ragaku. Diamini pengetahuanku, dihempaskan udara nafasku, semuanya... bahkan alam bawah sadarku, juga!
Aku ingin ada yang berdenyut, mengalirkan separuh darahku untuk kehidupannya. Dialah kekasih yang akan merengek minta dibuatkan susu, diantar sekolah, dimintanya mengantar pipis saat malam hari tiba.
Aku akan kelelahan mencintaimu, sayangku! Bagaimana bisa cinta itu melelahkan? Bisa. Jika setiap hari aku harus bangun tidur disisimu, menyiapkan bekalmu, keluar rumah mengantarkan sekolahmu, mencium bau mataharimu, menyeka keringatmu, mencuci baju kotormu, dan mencintai ayahmu. Oh bahkan cintaku padamu mengalahkan rasa cintaku pada ayahmu, suamiku yang aku cintai beberapa saat sebelum kau ada! Makhluk apa gerangan kamu, wahai kecil mungil dan melenakan..
Boleh aku panggil kamu tuan malaikat kecil saja?
Gara-gara kamu aku jadi rajin baca, rajin dengar pengajian, ikut seminar parenting dan belajar sunggu-sunguh saat dosen menerangkan bagaimana aku harus menjadi manusia terbaik untukmu. Ah tuan malaikat kecil, belum ada saja kamu sudah begitu banyak menyebar kebaikan apalagi sudah ada.
Tapi tahukah kamu, disaat yang sama dengan ditulisnya rindu ini untukmu, ada temanmu yang bahkan belum sempat menikmati indahnya berenang dalam perut ibu tapi sudah terusir dan masuk wc. Ini mungkin akan jadi satu dari banyak bagian ceritaku untuk melatih kepekaan perasaanmu nanti kalau kamu sudah mengerti, bahwa kau amat beruntung telah dirindukan jauh-jauh hari dan di doakan keselamatannya.
semesta tahu aku ingin kamu...
Seandainya aku bagian dari alam rahim, sepertinya aku akan pingsan kelelahan menangisi warga alam rahim yang diusir dengan kejam oleh ibunya. Kamu tak sedang menangis juga disana kan sayangku? Hmm.. Tapi kalau kau tak tahan, menangislah untuk temanmu yang dikejami itu, tapi jangan lama-lama karena kau akan menyongsong bahagia bersamaku. Itu takkan terjadi padamu. Sudah... sudah...
Oh iya tuan malaikat kecil, rasanya aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Kapan kita bertemu ya? Maunya sih secepatnya... Biar aku siapkan segala sesuatunya. Biar aku belajar bagaimana caranya agar aku tetap mencintai semua yang sudah ada ini dari sekarang. Aku takut nanti kedatanganmu membuat malaikat lain cemburu.
Untukmu aku sudah siapkan beberapa file surat cinta yang aku tulis di usia awal 20-an. Beberapa memang sudah kau baca, tapi sebagiannya belum aku kirim. Biar jadi kejutan saja saat ulang tahun.
Sudah dulu ya, dua SKS memang singkat. Tau-tau dosennya sudah pamit keluar. Nanti aku kasih tau lah SKS dan dosen itu apa kalau kamu sudah jadi malaikat besar.
Peluk cium,
Allegra bellezia –Abel
Aku matikan laptop, bergegas meninggalkan kelas bersama Adit, Ayu, dan Laras.
***
Sembilan hari kemudian...
“Bel aku mau cerita...” Ayu terdengar lesu.
Kita mencari tempat paling sepi untuk bicara. Aku faham betul, ini akan jadi permbicaraan penting dan rahasia.
“Mamah sudah tau soal kehamilan Widya, bel... dan mamah sedang mengusahakan pernikahan Widya minggu depan...” Ayu suaranya berat.
Pernikahan itu... Tuhan, begini ya cara impian kami dihentikan?!
“bayangin aja Bel, pernikahan yang aku impikan seakan hancur. Debaran menikahkanku sebagai anak perempuan pertama akan luntur karena mamah menikahkan Widya lebih dulu..” Ayu semakin emosional.
“sabar aja yu..” aku kehabisan kata-kata.
“aku maunya sabar, tapi... “ tangis Ayu pecah..
Aku memeluk Ayu...
Ayu adalah sahabatku, kami terpaut tiga tahun. Dia lahir lebih dulu. Dunia dia besar, temannya banyak, wawasannya luas. Dia adalah salah satu sahabat terbaikku selain Laras dan Adit. Kami sama-sama terobsesi menikah muda. Bedanya aku lebih cenderung pada ingin jadi ibu, dan dia jadi istri pejabat. Setiap membicarakan itu, matanya selalu berbinar. Aku tau dia sangat menginginkannya.
Tapi kali ini aku melihat dia benar-benar kalut. Mungkin bisa dibilang hancur. Matanya memantulkan cahaya kesedihan, tak lagi berbinar. Mimpinya dirampas oleh adik tirinya sendiri dengan cara yang curang. Dan aku sahabatnya, tak bisa berbuat apa-apa selain ikut bersedih.
***
Pernikahan itu tiba, dan tentu saja tanpa undangan. Suasananya mengerikan, bahkan jauh lebih mengerikan ketimbang sepak bola tanpa penonton. Sucinya pernikahan tak diiringi suka cita, semua senyum alakadarnya hanya untuk foto.
Ayu terbaring sakit, makanya dia tak terlihat dalam kumpulan keluarga besarnya. Aku tahu karena pada saat itu ayu tengah berbaring di balik selimut dengan mata pura-pura terpejam, padahal tangannya sibuk mengetik sms kepadaku. Melaporkan setiap detik pernikahan nista adiknya dengan Tomy.
Aku merasakan sakitnya...
Di bagian bumi yang lain, aku menangis untuk Ayu-ku...
***
Tiga bulan sudah sejak aku mendapat telepon yang berujung kesialan sepanjang hari dari Gita.
Aku dengar dia dan Mas Anton pindah ke luar kota yang jaraknya lebih jauh. Mas Anton pindah kerja katanya. Dari status fesbuknya ia selalu pamer kebahagiaan. Ya bagaimana tidak, suaminya yang bekerja di perusahaan tambang asing pastilah menghasilkan pundi-pundi rupiah yang lebih dari lumayan. Rumahnya baru, dan sebuah city car sering kali jadi bagian dari foto-foto yang di uploadnya.
Sebagaimana pada kesedihan Ayu, yang aku ikut bersedih. ikut sakit pula. Pada kebahagiaan Gita aku malah sebaliknya. Aku melihatnya sebagai kebahagiaan semu dan sulit untuk aku ikut bahagia. Rumah tangga bahagia takkan membiarkan darah dagingnya diguyur kedalam wc. Istri yang bahagia tak mungkin menutup telepon dengan panik saat mama mertua datang mendekat.
Aku melihatnya palsu...
***
Hari ini aku sudah lupa berapa bulan sejak bulan oktober yang menyedihkan itu. Sekitan tiga tahunan lah. Setahun yang lalu aku meninggalkan tempat aku sekolah, aku sudah sarjana. Laras, Ayu dan adit juga.
Aku membuka laptop putih kesayanganku. Ada wallpaper foto wisuda empat orang manusia. Tiga wanita, satu pria.
Masih dalam laptop yang sama, danMs.Word yang belum di upgrade dari yang dulu. Aku mencoba mengetik lagi, kali ini untuk Monik...
Dialah sahabat, rekan kerja, dan saksi betapa aku mencintai hidupku enam tahun ini....
Selamat malam monik, sudah enam tahun ya usiamu sekarang...
Kau bukan sekdar laptop canggih, kau sudah jadi bagian hidupku. Tanpamu mungkin titel mahasiswaku akan diperpanjang beberapa tahun lagi. Amit amit.
Aku bahagia sekali monik, sahabatku Ayu kemarin menikah. Dan kau tahu? Suasananya masih sehebat yang pernah Ayu impikan dulu waktu kita kuliah. Aku melihat kesibukan malaikat kebahagiaan memenuhi hasrat semua manusia yang ada. Aku salah satunya..
Kebahagiaan tetap menjadi kebahagiaan, cuma masalah waktu yang tepat...
Kau tentu ikut bahagia, karena kau sahabatnya juga....
...................
........................
Tulisan menggantung belum selesai, aku sudah ketiduran. Zzzzz....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar