Rabu, 01 Februari 2012

ini bukan sekedar bilangan, tapi cinta...

“Coba Anindia, sembilan kali tujuh itu berapa?”
Lagi-lagi Anindia celingukan bingung, entah harus mengarang angka berapa lagi untuk mencoba menjawab pertanyaanku -Si Ibu guru kecilnya-
Anindia tampak menggigiti pensilnya, memukul-mukulkannya ke kepala tanda ia gelisah, wajahnya memucat pasi dan sorot matanya kehabisan semangat.
Aku semakin kehabisan akal mengajarkan konsep perkalian pada Anindia, seorang anak kelas empat SD yang sejak dua bulan lalu menjadi murid privatku...
Pelajaran berakhir disini, di perkalian sembilan...
Aku pulang dengan gontai karena merasa tak bisa membantu Anindia menjadi lebih daik dalam pelajaran matematika.
.....
                                                                                ****
Beberapa hari kemudian, aku ke gudang mengobrak-abrik seluruh koleksi buku pelajaranku sedari kecil. semua buku masih terjaga karena jarang ku pakai, hanya beberapa saja yang sering ku baca dan kupelajari, selebihnya hanya pelengkap identitas bahwa aku seorang siswa. buku-buku pelajaran hanya sebagai penunggu tas pada masanya, tak lebih menarik dari buku cerita atau majalah favoritku. hanya saja ia selalu kurawat dengan rapi untuk kupinjamkan pada saudara yang tak  sanggup membeli buku di tahun berikutnya dan aku minta itu dikembalikan dengan utuh setelahnya... aku hanya sebagai pengkoleksi, bukan pembelajar... hubunganku dengan buku-buku itu tak terlalu akrab, jauh dari kata mesra...
Kardus demi kardus kubuka, dan aku bertemu dengan sebuah tumpukan buku –lagilagi tak terlalu akrab-  tapi aku merasa harus mengambilnya dan meyakinkan buku inilah yang aku cari..
Halaman pertama ku buka, aku magut-magut pertanda setuju dengan dugaanku..
Kubuka berikutnya, berikutnya, dan...
.....
                                                                                ****
Waktu itu aku kelas dua SD, sepulang ayah dari kantor aku dipanggil dan diberi dua lembar kertas. Aku bingung, surat apa ini? Dari siapa? Aku tak terbiasa mendapat surat yang di jeplak-jeplak mesin tik seperti surat ayah dan para ibu-ibu guru.
Setelah dibuka, isinya angka-angka yang berederet ke kanan kekiri, dari atas kebawah, HVS-nya penuh dengan angka... aku bergidik.
Judulnya tertera di tengah bagian atas “PERKALIAN”
Kami yang hanya anak kampung lebih akrab mengenalnya dengan raraban, ya sebuah deretan perkalian yang dibuat dengan sistematis agar lebih mudah dihafal anak-anak yang baru belajar perkalian.
Aku yang sedari tadi geer, kini tersadar. Ayah menyuruhku belajar perkalian, kendati tak pernah diucapkan. Tapi surat cinta “raraban” ini tlah mewakili apa yang seharusnya keluar dari mulut, kata-kata sudah tak perlu lagi diucapkan.
Kemudian,
“ yang satu ditempel dikamar ya, yang satu lagi pegang saja untuk kamu hafal sebelum tidur..”
Ayah bilang begitu.
Satu hari...
Sepuluh hari..
Sebulan...
Aku memang benar sering menghafalkannya, namun yang aku baca hanya perkalian satu dan perkalian sepuluh karena terasa lebih gampang. Yang lainnya biar menjadi contekan dan kusimpan kertas itu dalam tempat rahasiaku... dan hilang tanpa kusadari...
Kemampuan matematisku tak lebih baik dari tahun ke tahun, hanya sedikit terbantu karena tak termasuk murid bodoh dikelasku. Dan (sepertinya) tak ada yang peduli.
.....

Tahun demi tahun, jenjang demi jenjang, ijazah demi ijazah ku raih...
Sampai hari ini, sesaat  sebelum aku kembali bertemu dengan lembaran-lembaran raraban yang duabelas tahun lalu ayah buatkan khusus untukku, si putri kecilnya. Aku masih belum sadar betapa dua lembar kertas itu mewakili segala keinginan, segala harapan dan dukungan yang luar biasa agar aku berhasil menyelesaikan separuh tugas dasar menghitungku dengan baik..
Aku mengenalinya dalam ingatan, sebuah titik balik yang terlupakan...
Sebuah sikap yang amat memalukan dan sama sekali tak berhati, sesuatu yang dengan sepenuh hati dibuatkan ayah lalu malah aku simpan begitu saja.. jahat sekali aku ini!
Aku kemudian terenyuh dan beristighfar dalam hati, meletakkan deretan perkalian itu di dadaku, meresapkan kekuatannya kedalam hati... aku menatapnya sekali lagi, dengan isi yang kini sesungguhnya sudah kuhafal entah dengan cara apa... kali ini bukan lagi mata yang membacanya, tapi segenap hati yang hidup membacanya jauh lebih dari sekedar tentang perkalian.. aku membaca tentang kasih sayang, komitmen, dan doa yang berjumput jumput untukku..
Hangat airmata rasanya belum cukup menggantikan hangatnya lembaran lusuh itu dihatiku, berbulir bulir airmata kubiarkan berjatuhan dipipi tanpa ku seka... aku masih ingin berpelukan dengannya, andai bisa ingin aku memohon maaf atas dua belas tahun pengkhianatanku...
Buku matematika SD yang tadinya ingin segera kubaca, tergeletak begitu saja. Tak ada lagi pesona yang mengalahkan selembar kertas perkalian yang kutemukan di sela-sela buku itu, yang kusembunyikan sekian lama dengan niat yang sungguh konyol.
Setelah puas menggelontorkan airmata, kucari handphone yang masih tersimpan dalam tas. Ada kerinduan yang mendalam dari seorang anak remaja yang baru menyadari cahaya cinta ayahnya yang berpijar duabelas tahun lalu, kubuka phonebook. Ah tertera sudah di layar handphoneku “ayah_sayang” ingin kutekan tombol ok untuk menelpon, tapi rasanya aku kehabisan kata untuk bicara, lagipula suara telah parau sisa tangis barusan, beliau pasti akan gelisah dengan suaraku maka kuurungkan niatku dan menekan tombol berikutnya untuk opsi send message.kukirim pesan singkat,
                “assalamualaikum, ayah apa kabar?” aku terdiam sejenak, mengumpulkan kata berikutnya tuk meredam segala rasa yang bergejolak dan mengungkap betapa aku memohon maaf, berterima kasih, dan mengungkap bahwa aku mencintainya juga walau tak sedalam beliau mencintaiku. Tapi otak sepertinya tak lagi berdaya tuk merangkai kata yang memuat begitu banyak pesan dan jawaban. Aku tak bisa lagi mengungkap apa-apa, namun ada satu kalimat yang berhasil meloloskan diri dari cengkraman kepala yang mulai sakit karena sedikit menegang “..semoga ayah sehat selalu.. J”  dan kutekan send. Pesan itu terbang melintasi batas jarak puluhan kilometer, dan sesungguhnya tak hanya menyampaikan dua kalimat tadi tapi juga menyampaikan pesan dari hati –terima kasih untuk kasih sayang sepenuh hati, yang tiada surut meski dihadang badai.. terima kasih atas cinta yang begitu besar, yang tetap lebih besar dari ukuranku yang beranjak dewasa.. aku mencintaimu ayah...-aku melafalkan doa dalam hati, yang kalimat-kalimatnya hanya bisa dimengerti aku dan Tuhan.. ada kelegaan saat handphone berbunyi mengabarkan pesannya telah terkirim, aku yakin kelegaan itu artinya sampai sudah isi hati yang penuh sesak mengisi rongga dada dan isi kepala kepadanya...
Aku terdiam, dan mulai bisa tersenyum bangga atas kebaikan yang aku dapat dari sebuah pertemuan dengan selembar kertas itu... lega sekali.. meski harus bersembunyi belasan tahun dalam lipatan buku yang menyesakkan, kau datang di saat yang tepat seperti yang Tuhan rencanakan. Membawa pencerahan di masa yang sama sekali tak mengenal cahaya apa-apa.
-tok..tok..tok...
Ah, ada suara yang mengetuk pintu. Aku segera menyeka airmata yang tersisa, dan beringsut menuju meja belajar dan bersandiwara seolah tak ada apa-apa.
“masuk.. ga di kunci!”
Krekkk.. suara pintu di buka. Seketika muncul wajah Arini dari balik pintu.
“San, matamu kenapa?”
“ah biasa, ketiduran sambil baca buku..” aku menjawab sekenanya.
“ah kebiasaan... ini, aku mau ngembaliin staples yang kemaren dipinjem.”
“oh iya, sini..” tanganku meraihnya, dan berharap teman kost ku itu tak berlama-lama bertamu dikamarku.
“keliatannya kamu ngantuk, aku balik skarang yah.. takutnya kamu mau istirahat. Makasih ya.” Arini berlalu.
Terdengar suara pintu ditutup.
Aku menarik nafas panjang, lega karena acaraku membaca ulang deretan perkalian itu untuk ke puluhan kalinya sejak satu jam lalu aku menemukannya takkan terganggu.. kubaca.. kubaca.. kubaca lagi.. seperti surat cinta, hanya dengan bentuk huruf yang luar biasa dan amat romantis...
Terima kasih ayah,
Aku mencintaimu sampai mati..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar