“Coba Anindia, sembilan kali tujuh itu berapa?”
Lagi-lagi
Anindia celingukan bingung, entah harus mengarang angka berapa lagi
untuk mencoba menjawab pertanyaanku -Si Ibu guru kecilnya-
Anindia
tampak menggigiti pensilnya, memukul-mukulkannya ke kepala tanda ia
gelisah, wajahnya memucat pasi dan sorot matanya kehabisan semangat.
Aku
semakin kehabisan akal mengajarkan konsep perkalian pada Anindia,
seorang anak kelas empat SD yang sejak dua bulan lalu menjadi murid
privatku...
Pelajaran berakhir disini, di perkalian sembilan...
Aku pulang dengan gontai karena merasa tak bisa membantu Anindia menjadi lebih daik dalam pelajaran matematika.
.....
****
Beberapa
hari kemudian, aku ke gudang mengobrak-abrik seluruh koleksi buku
pelajaranku sedari kecil. semua buku masih terjaga karena jarang ku
pakai, hanya beberapa saja yang sering ku baca dan kupelajari,
selebihnya hanya pelengkap identitas bahwa aku seorang siswa. buku-buku
pelajaran hanya sebagai penunggu tas pada masanya, tak lebih menarik
dari buku cerita atau majalah favoritku. hanya saja ia selalu kurawat
dengan rapi untuk kupinjamkan pada saudara yang tak sanggup membeli
buku di tahun berikutnya dan aku minta itu dikembalikan dengan utuh
setelahnya... aku hanya sebagai pengkoleksi, bukan pembelajar...
hubunganku dengan buku-buku itu tak terlalu akrab, jauh dari kata
mesra...
Kardus demi kardus kubuka, dan aku bertemu dengan sebuah
tumpukan buku –lagilagi tak terlalu akrab- tapi aku merasa harus
mengambilnya dan meyakinkan buku inilah yang aku cari..
Halaman pertama ku buka, aku magut-magut pertanda setuju dengan dugaanku..
Kubuka berikutnya, berikutnya, dan...
.....
****
Waktu
itu aku kelas dua SD, sepulang ayah dari kantor aku dipanggil dan
diberi dua lembar kertas. Aku bingung, surat apa ini? Dari siapa? Aku
tak terbiasa mendapat surat yang di jeplak-jeplak mesin tik seperti
surat ayah dan para ibu-ibu guru.
Setelah dibuka, isinya angka-angka yang berederet ke kanan kekiri, dari atas kebawah, HVS-nya penuh dengan angka... aku bergidik.
Judulnya tertera di tengah bagian atas “PERKALIAN”
Kami yang hanya anak kampung lebih akrab mengenalnya dengan raraban, ya sebuah deretan perkalian yang dibuat dengan sistematis agar lebih mudah dihafal anak-anak yang baru belajar perkalian.
Aku
yang sedari tadi geer, kini tersadar. Ayah menyuruhku belajar
perkalian, kendati tak pernah diucapkan. Tapi surat cinta “raraban” ini
tlah mewakili apa yang seharusnya keluar dari mulut, kata-kata sudah tak
perlu lagi diucapkan.
Kemudian,
“ yang satu ditempel dikamar ya, yang satu lagi pegang saja untuk kamu hafal sebelum tidur..”
Ayah bilang begitu.
Satu hari...
Sepuluh hari..
Sebulan...
Aku
memang benar sering menghafalkannya, namun yang aku baca hanya
perkalian satu dan perkalian sepuluh karena terasa lebih gampang. Yang
lainnya biar menjadi contekan dan kusimpan kertas itu dalam tempat
rahasiaku... dan hilang tanpa kusadari...
Kemampuan matematisku
tak lebih baik dari tahun ke tahun, hanya sedikit terbantu karena tak
termasuk murid bodoh dikelasku. Dan (sepertinya) tak ada yang peduli.
.....
Tahun demi tahun, jenjang demi jenjang, ijazah demi ijazah ku raih...
Sampai hari ini, sesaat sebelum aku kembali bertemu dengan lembaran-lembaran raraban
yang duabelas tahun lalu ayah buatkan khusus untukku, si putri
kecilnya. Aku masih belum sadar betapa dua lembar kertas itu mewakili
segala keinginan, segala harapan dan dukungan yang luar biasa agar aku
berhasil menyelesaikan separuh tugas dasar menghitungku dengan baik..
Aku mengenalinya dalam ingatan, sebuah titik balik yang terlupakan...
Sebuah
sikap yang amat memalukan dan sama sekali tak berhati, sesuatu yang
dengan sepenuh hati dibuatkan ayah lalu malah aku simpan begitu saja.. jahat sekali aku ini!
Aku
kemudian terenyuh dan beristighfar dalam hati, meletakkan deretan
perkalian itu di dadaku, meresapkan kekuatannya kedalam hati... aku
menatapnya sekali lagi, dengan isi yang kini sesungguhnya sudah kuhafal
entah dengan cara apa... kali ini bukan lagi mata yang membacanya, tapi
segenap hati yang hidup membacanya jauh lebih dari sekedar tentang
perkalian.. aku membaca tentang kasih sayang, komitmen, dan doa yang
berjumput jumput untukku..
Hangat airmata rasanya belum cukup
menggantikan hangatnya lembaran lusuh itu dihatiku, berbulir bulir
airmata kubiarkan berjatuhan dipipi tanpa ku seka... aku masih ingin
berpelukan dengannya, andai bisa ingin aku memohon maaf atas dua belas
tahun pengkhianatanku...
Buku matematika SD yang tadinya ingin
segera kubaca, tergeletak begitu saja. Tak ada lagi pesona yang
mengalahkan selembar kertas perkalian yang kutemukan di sela-sela buku
itu, yang kusembunyikan sekian lama dengan niat yang sungguh konyol.
Setelah
puas menggelontorkan airmata, kucari handphone yang masih tersimpan
dalam tas. Ada kerinduan yang mendalam dari seorang anak remaja yang
baru menyadari cahaya cinta ayahnya yang berpijar duabelas tahun lalu,
kubuka phonebook. Ah tertera sudah di layar handphoneku “ayah_sayang” ingin
kutekan tombol ok untuk menelpon, tapi rasanya aku kehabisan kata untuk
bicara, lagipula suara telah parau sisa tangis barusan, beliau pasti
akan gelisah dengan suaraku maka kuurungkan niatku dan menekan tombol
berikutnya untuk opsi send message.kukirim pesan singkat,
“assalamualaikum, ayah apa kabar?” aku terdiam sejenak, mengumpulkan
kata berikutnya tuk meredam segala rasa yang bergejolak dan mengungkap
betapa aku memohon maaf, berterima kasih, dan mengungkap bahwa aku
mencintainya juga walau tak sedalam beliau mencintaiku. Tapi otak
sepertinya tak lagi berdaya tuk merangkai kata yang memuat begitu banyak
pesan dan jawaban. Aku tak bisa lagi mengungkap apa-apa, namun ada satu
kalimat yang berhasil meloloskan diri dari cengkraman kepala yang mulai
sakit karena sedikit menegang “..semoga ayah sehat selalu.. J” dan
kutekan send. Pesan itu terbang melintasi batas jarak puluhan kilometer,
dan sesungguhnya tak hanya menyampaikan dua kalimat tadi tapi juga
menyampaikan pesan dari hati –terima kasih untuk kasih sayang
sepenuh hati, yang tiada surut meski dihadang badai.. terima kasih atas
cinta yang begitu besar, yang tetap lebih besar dari ukuranku yang
beranjak dewasa.. aku mencintaimu ayah...-aku melafalkan doa dalam
hati, yang kalimat-kalimatnya hanya bisa dimengerti aku dan Tuhan.. ada
kelegaan saat handphone berbunyi mengabarkan pesannya telah terkirim,
aku yakin kelegaan itu artinya sampai sudah isi hati yang penuh sesak
mengisi rongga dada dan isi kepala kepadanya...
Aku terdiam, dan
mulai bisa tersenyum bangga atas kebaikan yang aku dapat dari sebuah
pertemuan dengan selembar kertas itu... lega sekali.. meski harus
bersembunyi belasan tahun dalam lipatan buku yang menyesakkan, kau
datang di saat yang tepat seperti yang Tuhan rencanakan. Membawa
pencerahan di masa yang sama sekali tak mengenal cahaya apa-apa.
-tok..tok..tok...
Ah,
ada suara yang mengetuk pintu. Aku segera menyeka airmata yang tersisa,
dan beringsut menuju meja belajar dan bersandiwara seolah tak ada
apa-apa.
“masuk.. ga di kunci!”
Krekkk.. suara pintu di buka. Seketika muncul wajah Arini dari balik pintu.
“San, matamu kenapa?”
“ah biasa, ketiduran sambil baca buku..” aku menjawab sekenanya.
“ah kebiasaan... ini, aku mau ngembaliin staples yang kemaren dipinjem.”
“oh iya, sini..” tanganku meraihnya, dan berharap teman kost ku itu tak berlama-lama bertamu dikamarku.
“keliatannya kamu ngantuk, aku balik skarang yah.. takutnya kamu mau istirahat. Makasih ya.” Arini berlalu.
Terdengar suara pintu ditutup.
Aku
menarik nafas panjang, lega karena acaraku membaca ulang deretan
perkalian itu untuk ke puluhan kalinya sejak satu jam lalu aku
menemukannya takkan terganggu.. kubaca.. kubaca.. kubaca lagi.. seperti
surat cinta, hanya dengan bentuk huruf yang luar biasa dan amat
romantis...
Terima kasih ayah,
Aku mencintaimu sampai mati..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar