Rabu, 01 Februari 2012

marah!


Seringkali gue marah sama keadaan, marah sama orang-orang, marah sama segala sesuatu yang gue fikir pernah mengkhianati gue. Mengkhianati? Ah macam mana pula?! Maksudnya mengkhianati harapan gue, maunya A jadinya B, enaknya A eh dapetnya B...bisa aja kan?! Dan rasa marah itu ada yang terjadi cuma semenit saja, sejam, sehari, setahun, tiga tahun dan.. dan... ada yang sedari kecil sampai dewasa ga pernah reda.
Satu kata marah itu dahsyat, bisa menyisihkan kata-kata lain yang lebih mulia. Saat marah, gue kayak dibuat lupa dengan kata-kata yang namanya pengertian, pemaafan, alasan, toleransi dan sebagai-bagainya. Kata marah sepertinya sudah ditulis besar-besar dalam kamus otak yang tadinya menampung lebih dari satu milyar kata, ditulis dalam font sebesar mungkin sampai yang semilyar itu dikalahkan.
Pathetic!
Hampir duapuluh satu tahun gue kenal sama yang namanya marah, walaupun gue lebih akrab sama tawa dan becandaan yang rasanya lebih asik. Namanya manusia, pastilah gue dapet jatah buat menikmati sensasi rasa marah itu. Dan selama lebih dari dua dekade itu, gue belajar mengubah-ubah sensasi marah itu ke bentuk yang paling enak di hati. Karena jauh dilubuk hati, gue terima rasa marah ini sebagai anugrah. Entah kenapa gue sadar bahwa dalam marah ada satu sensasi otentik yang ga bisa diganti sensasi yang lain. Setiap ekspresi marah yang dikeluarkan, punya efek yang berbeda: kadang lega, sembuh, atau malah tambah gak enak hati. Tentunya tiap orang berharap habis dia marah hati jadi lega. Kesimpulannya dalam beberapa hal, marah itu perlu. Jadi gue berusaha menghidupkan rasa marah dalam hati dengan cara gue sendiri. Salah ngurus sedikit aja, rasa marah malah makan hati kita sendiri.
Waktu kecil, ekspresi marah cukup gue tunjukan dengan nangis kejer dan lempar-lempar barang. Beberapa kali gue begitu, tapi balesannya malah tambah parah. Ekspresi kemarahan macam itu malah mengundang kemarahan yang lebih besar dari ibu, yang mana itu malah menyebabkan gue semakin gak enak hati. Setelah gue fikir-fikir lagi, gue memutuskan buat mengganti ekspresi marah gue dengan ekspresi lain. Gue mikir dengan cara anak kecil, dan gue ga nemu ekspresi marah paling enak saat itu. Emang Cuma saat marah ide-ide berekspresi itu muncul.
Agak gedean dikit, rasa marah gue tercermin dari penurunan prestasi. Kekecewaan gue sama banyak hal bikin gue kehilangan gairah buat jadi anak pinter. Dengan lari dari beban peringkat satu di kelas, gue kira gue bakal merasa puas. Dengan melupakan nikmanya dipuji-puji orang, gue kira perilau jahat dari orang lain akan musnah. Entah darimana ide itu muncul, tapi setelah gue percobakan selama beberapa tahun, hasilnya juga ga bikin gue ngerasa puas. Sensasi melegakan yang gue harapkan, ternyata ga gue dapetin. Yang ada malah cap jek dan dugaan yang engga-engga mulai merebak. Lebih dari itu, derita demi derita muncul mengiringi masa-masa gue mengekspresikan rasa marah dengan cara begini. Bodoh iya, tenang boro-boro. Entah berapa tahun, tapi kemudian gue sadar dan mencari bentuk ekspresi baru dengan harapan setiap gue marah setiap itu pula gue mendapatkan kelegaan, atau yaa setidaknya keadaan membaiklah.
Masa remaja adalah salah satu fase hidup yang harus gue jalani, segala sesuatunya membesar. Fisik gue, keinginan, kekecewaan, masalah, beban akademik dan semua-muanya membesar. Seinget gue di masa-masa ini terakhir kali gue merasakan tinggi dan badan gue masih bertambah. Dari saat itu sampe sekarang, badan gue gak keliatan lagi ada perubahan yang signifikan. Kembali ke marah, segala sesuatu yang membesar itu muncul dan gue memutuskan untuk marah dengan gaya baru, marah dengan cara lama sudah ga efektif. Di  saat-saat ini kalo gue kecewa, gue mulai mengkespresikan kemarahan dengan pergi. Perginya bukan pergi jauh naik pesawat, tapi secara psikologis gue mulai menjauh dan melepaskan  diri dari apa yang bikin gue marah. Saat guru ngeselin, gue cari cara biar jarang ketemu. Saat temen gue curang, gue memutuskan untuk sendiri, gue tinggalin temen-temen (termasuk temen yang baik) masa bodo apa kata orang tapi saat itu gue memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan teman macam apapun walaupun ada beberapa orang yang terbuka menawarkan diri jadi teman. Dan saat orang rumah ngecewain, gue menghindar dari aktifitas dan semacam melupakan status gue sebagai anak, percaya atau tidak gue pernah hidup dengan prinsip robot : semua yang orang-orang harapkan, gue kerjain dengan baik tapi ga pake perasaan, ngeri memang saat semua orang muji gue sebagai anak rajin tapi gue sendiri hampa. Acara marah kayak gini ternyata kurang efektif, kerena boro-boro bikin hati tenang malah bikin orang lain keenakan dan mengesalkan dalam taraf yang lebih lupa diri. Aah itulah kemarahan remaja!
Di masa-masa sekitar remaja akhir, gue pernah menemukan ide gila dalam ekspresi kemarahan. Masih dalam tujuan yang sama : yaitu membuat hati gue tenang, dan bikin yang lain berhenti ngulangin hal yang mengecewakan gue. Dalam suasana kacau balau itu, secara spontan gue tiba-tiba mendapat  ilham untuk menyempurnakan gaya marah yang sudah ada, dari Cuma pergi menarik diri dan menghindar menjadi pergi dalam arti sesungguhnya. Suatu hari gue kecewa berat, gue dituduh melakukan hal-hal yang jelas-jelas ga pernah gue lakukan. Jiwa remaja gue terhina, hati gue luka berat, dan kekecewaan gue pada saat itu termasuk yang terberat dari apa yang pernah gue rasakan sebelumnya. Maka dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam saja dari detik yang membuat  gue marah, gue sudah tiba di kota yang berbeda untuk pergi. Tunggu, gue pergi bukan mau lari dari masalah loh. Di usia gue yang masih keitung labil begitu juga gue udah sadar kalo masalah itu bukan buat ditinggal hidup-hidup tapi diselesaikan sampai mati. Tujuan gue pergi itu tidak lain dan tidak bukan adalah buat nyelesain masalah. Dari sekitar semilyar perbendaharaan kata di otak gue, gue ga nemu kalimat yang tepat buat mengobati rasa terhina gue dan menyadarkan orang itu kalo gue terluka, dari kebuntuan itulah tiba-tiba gue dapet ide buat marah secara nonverbal tapi dengan cara yang lebih keras. Gue pergi jauh naik bis tanpa pamit, biar orang itu tau kalo gue amat terhina. Yang ada di benak gue sebenernya banyak, gue mau pergi jauuuuh sekali, hidup sendirian diluar sana tanpa tergantung berlebihan sama pihak manapun. Tapi belum juga ide besar itu terealisasikan, hari kedua kepergian gue di kota yang jaraknya kurang lebih 50km dari rumah, gue udah bikin panik orang-orang dan gue mengurungkan niat meneruskan itu karena ternyata saat itu (saat gue marah besar) gue masih punya rasa cinta yang jauh lebih besar buat kedua orang tua gue. Gue mulai mengkhawatirkan keadaan mereka yang katanya khawatir juga sama keadaan gue diluar sana. Dengan sedikit bujukan saja, gue berhasil mereda dan pulang kerumah. Orang-orang bilangnya gue “kabur”, sekitar seminggu orang-orang masih berkomentar soal gue yang kabur. Kalo tembok ada suaranya juga mungkin tembok ikutan bergunjing betapa konyolnya gue dan menerka-nerka apa yang menjadi penyebab kemarahan gue dan darimana ide itu muncul. Tapi apapun istilahnya, papaun komentar orang, gue menghargai peristiwa itu sebagai peristiwa kebangkitan. Dari situ gue belajar mengambil hikmah dari apa yang gue lakukan, lebih dari itu mata hati gue mulai bisa melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Dari situ gue sadar kalo rasa marah itu tak dikendalikan dengan baik akan membawa sesuatu yang lebih buruk, dan lebih menyakitkan atau bahkan lebih menghinakan bagi diri gue sendiri dan orang lain. Seinget gue, itulah cara marah paling ekstrim yang pernah gue ekspresikan. Mungkin bagi sebagian orang, itu belum apa-apa. Tapi gue bersyukur karena ga melakukan hal yang lebih parah dari itu, apa jadinya kalo gue sampe mendapat ilham buat berbuat yang lebih gila dari itu : apakabar keselamatan gue? Apakabar nama baik keluarga gue? Apakabarnya harapan besar orang-orang yang mencintai gue?
Masuk usia 20 tahun, status gue masih mahasiswa seperti yang diperkirakan. Udah lama banget gue ga marah dengan sensasional. Gue yang sekarang lebih suka marah dengan gaya baru, yang entah kapan akan berubah lagi. Sekarang saat gue kecewa gue ekspresikan kemarahan gue dengan cara berusaha berbuat lebih baik dengan harapan keadaan berubah menjadi karma baik. Dalam tingkat kemarahan yang lebih, besar gue lebih seneng “mendiamkan” dan membiarkan dia mencari tahu sendiri apa yang membuat gue marah dan apa yang sebaiknya dilakukan. Gue lebih seneng berdoa biar Tuhan gerakkan hati gue jika memang kesalahannya malah berasal dari gue, atau hati orang yang jahatin gue biar kembali baik lagi. Walaupun belum sempurna, tapi hidup dengan marah yang sekarang gue merasa lebih baik. Gue belajar hidup sebaik dan seminim mungkin dalam memicu kemarahan orang lain. Mungkin karena pengalaman dulu-dulu sudah memberi cukup banyak pelajaran, sekarang gue lebih hati-hati dalam marah. Jangan sampai kemarahan gue malah memicu masalah yang lebih besar. Selain dari kesehatan lahir batin gue, gue sangat menjaga kelangsungan usaha gue membangun kehidupan yang lebih baik, dan gue gak mau segala yang udah gue bangun jadi rusak gitu aja karena gue salah memilih ekspresi kemarahan.
Di usia yang baru dengan status yang baru nanti, dan kehidupan gue yang lebih baru lagi mungkin gue akan menemukan ide dan gagasan baru gue mengenai marah. Permasalahan yang akan gue hadapin, dan pengalaman yang udah gue laluin mungkin akan melahirkan ide baru buat gue dalam mengekspresikan kemarahan. Dari sekarang gue tagaskan, gue Cuma ingin mengubah bentuk marah itu jadi sesuatu yang lebih baik, lebih baik, dan lebih baik lagi. Bukan menggantinya dengan ekspresi lain. Marah biarlah menjadi marah, karena marah diciptakan untuk tujuannya sendiri, karena marah ada untuk menyempurnakan kehidupan gue sebagai manusia, tanpa itu mungkin gue kehilangan separuh unsur gue sebagai manusia. Entah jadi spesies apa namanya.
Sekian pengalaman gue tentang marah, besok lusa mungkin gue bakal ceritain lagi gimana sisi kehidupan gue yang lain. Prinsip gue, marah bukan sesuatu yang melulu menjadi simbol ketidak baikan. Marah dalam pengasuhan orang yang tepat malah bisa jadi pemicu keberhasilan hidup seseorang. Tanpa membagus-baguskan hidup gue, tapi kalo gue liat orang sesama gue masih marah dengan cara nangis kejer dan lempar ini itu gue jadi pengen ketawa dan seringkali ga ngerti kenapa cara marah jaman bocah masih dipake aja di jaman yang serba canggih ini. Kasian liatnya.
Ini pendapat gue pribadi loh, bukan berdasarkan teori-teori ilmuwan. Benar atau salah semoga ga ada yang dirugikan.
Oia, buat yang sering baca tulisan gue sebelumnya pasti aneh kenapa disini gue pake kata ganti “gue” buat nyebut diri sendiri. Jawaban tepatnya gue juga gak tau, tapi ada sensasi berbeda ketika gue bercerita dari sudut pandang gue : tanpa merasa sok gaul “gue” serasa ringan, tulisan gue tentang marah ini sesungguhnya berat dan sensitif (bisa membongkar luka lama dan menyinggung pihak lain misalnya) jadi gue perlu membuatnya lebih ringan, dan gak ada rasa gue lebih baik atau lebih bijak dari yang lain (lebih tua apalagi). Itu yang menyebabkan gue yang berdarah sunda tulen ini pertama kalinya memberanikan menyebut diri sendiri dengan kata ganti “gue”.
Terakhir, saat rasa marah kita biarkan liar maka yang kita peluk adalah taring macan. Tapi saat rasa marah kita rawat untuk selalu lebih baik, maka apa yang kita peluk adalah suatu kekuatan yang terkendali dan dayanya telah kita ketahui.
Selamat siang, selamat memeluk marahmu sendiri... J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar