Selamat malam dunia, maaf aku tidur larut...
Baru
saja aku menonton sebuah video kehidupan, emh tepatnya terpisahnya dua
kehidupan. Prosesnya sedikit mengerikan, namanya juga “pemisahan”. Tapi
setelah berpisah keduanya menjadi indah, mungkin karena dari awalnya
sudah indah saat terpisah jadi lebih indah. Yang satu menjadi malaikat
penjaga, yang satunya menjadi penentram jiwa.
Tapi tunggu, ini bukan surga.
Malaikat ini berseragam lain dari yang kau lihat di televisi. Disini si
malaikat penjaga memakai baju motif bunga berrenda, dan malaikat
penentram jiwa memakai popok. Skenarionya mengharuskan begitu, jadi
sudahlah tak usah terheran-heran.
Laptop kumatikan karena tak tega
mendengar nafasnya yang ngos-ngosan kepanasan terlalu lama dipakai,
tapi tapi tapiiii lengan bajuku jadi panjang sebelah. Oh My god, selagi
menonton video tadi aku menarik-narik lengan bajuku sendiri menahan rasa
ngilu. Cacat sudah ini baju kesayangan, padahal belinya mahal, katanya
handmade,
tapi ya sudahlah. Kembali ke si malaikat, oh jangan pake “si” kita
panggil saja tuan. Tuan malaikat penjaga itu mukanya adem sekali seperti
air terjun, suaranya terdengar berwibawa tapi menenangkan. Sedangkan si
tuan malaikat penentram jiwa berwatak ceria dan mempesona. Bagaimana
bisa ya, dua malaikat berbeda muncul dari satu titik yang sama. Tapi
itulah kenyataannya. Tuan malaikat berpopok itu tadinya menempel pada
tuan malaikat berrenda, setelah Tuhan mewisuda tuan malaikat itu dari
sekolah alam rahim maka tuan malaikat berpopok itu sudah boleh
memisahkan diri untuk menjalani tugasnya sendiri. Maka jadilah ia
malaikat penentram jiwa, yang akan menentramkan semesta ini dengan
caranya sendiri.
Enam jam setelah aku melihat video itu, aku masih
terbawa suasana membayangkan proses pelepasan dua malaikat menjadi dua
individu berbeda tadi, betapa malaikat penjaga itu sampai berdarah darah
mengeluarkan malaikat penentram jiwa yang kecil dan tak berdaya.
Pengukuhan menjadi malaikat itu memang tak gampang, berkorban dengan
iklas dan sukacita adalah syaratnya.
Takut? Barangkali ini adalah pengecualian
.
Proses mengerikan ini tak membuat aku takut, aku malah semakin gila
ingin melalui proses itu dan bermetamormofis menjadi malaikat yang
mungkin seragamnya akan beda lagi.
Sudah hampir pagi, lengan baju yang
jebaw aku biarkan saja. Aku harus tidur sejenak sebelum ketahuan ibu aku begadang.
***
Selamat
pagi kampus, matahari tak malu malu unjuk gigi pagi ini. Cahayanya
membuat si buta saja tahu kalau matahari sedang tersenyum nyengir.
“Bel! Sinii...” tiba-tiba temanku memanggil dari parkiran.
“Apaan? Ada kuliah nih buru-buru...”
“sini dulu deh, ada gosip baru!”
“ah
males ah, pagi-pagi sudah bergosip!” aku berkelit mencari alasan biar
tak jadi ngobrol saat itu, padahal sebagai perempuan yang memerempuan
aku juga suka bergosip.
“yaudah, aku sms nanti ya!” laras mulai putus asa dan pasrah.
“sip!” aku melengos pergi.
Pagi
itu aku tak telat masuk kelas pertama, tepatnya lebih dulu dari
dosennya yang kesiangan masuk. Tak ada yang spesial untuk mata kuliah
itu, jadi kuputuskan duduk dibelakang saja. Tepat disamping Joni, biar
ada teman bercanda. Dosen datang, niat bercanda ditunda.
Ditengah dosen mengajar, hanphone-ku berbunyi ada sms...
Bipbiipp...
“bel, si Gita hamil” aku tak kaget karena Gita memang sudah cukup lama menikah.
Wajarlah punya anak, kalo ga hamil-hamil malah aneh.
“oh ya syukur... akhirnya hamil juga” aku malas berkomentar lebih banyak.
Bipbiiip... lagi!
“Pulang kuliah jam berapa? Nanti kita ngobrol ya... “
“jam 10.20 aku keluar kelas tunggu di taman ya..”
Sending...
Jam yang dimaksud sudah tiba, tak enak rasanya kalau aku tak menemui Laras di taman.
“hei, Ras” aku duduk disebelahnya dan meraih botol minuman segarnya tanpa permisi.
“Bel, si Gita hamil!”
“iya.. tadi kan udah cerita. Terus?”
“makanya
dengerin dulu, Bel... kemaren dia telfon aku dalam keadaan sedih, ga
ngerti juga kenapa dia sedih mau punya bayi... harusnya kan seneng ya?”
dia berusaha membangkitkan jiwa keibuanku yang sedang tidur.
“ya mana aku tau...” aku mulai terpancing, tapi pura-pura biasa saja.
“sedih ya Bel, kita yang pingin dari dulu malah susah... eh dia yang dikasih cepet malah ga bersyukur...”
oh plis Larasati Karim, obrolanmu...
“iya sih, tapi pasti dia punya alasan kuat buat kayak gitu, kita aja yang gak tau karena belum berumah tangga..” aku sok bijak.
“tapi kan Bel... kamu apa ga sayang sama temen kita itu?!” Laras mulai memaksa aku untuk peduli.
“Justru
karena aku sayang, aku berusaha menghormati apapun keputusan dia...
lagi pula dia belum cerita apa-apa ke aku!” aku mulai panas.
“sedih ya, Bel...” raut wajahmu kusut, aku tahu kesedihan itu tulus. Sedih untuk Gita, dan untuk dirinya sendiri.
“yaudah sih, biarin aja... eh iya, tugas buat kuliah siang nanti udah belum?’ aku mengalihkan perhatian.
“eh belum... hayu kita kerjain... kamu bawa laptop?! Aku minjem dong...”
Pengalihan topik yang aku lancarkan, berhasil. Kita mengerjakan tugas sambil ngobrol topik lain yang santai.
***
Selamat pagi... sebelas hari setelah obrolah di taman bersama Laras...
Bipbiiip...
“Bel, boleh aku nelpon?”
“boleh...”
Today i don’t feel like doing anything, i just wanna la... lagu Lazy Song dari Bruno Mars terdengar, pertanda ada panggilan masuk di handphoneku.
Gita Amelia 07.
“halooo...”
“Bel...” suaranya sedih...
“kenapa Git?”
“aku
hamil Bel, tapi aku belum siap punya anak... suami aku masih pingin
nabung buat bikin rumah, aku juga belum siap...” Gita langsung pada inti
pembicaraan, tak peduli aku yang gelagapan.
Hey... pembicaraan macam apa ini, pagi-pagi begini ngomongin rumah tangga kacrut!
“ehm...” aku baru akan bicara, tapi terpotong.
“aku
belum siap Bel, aku sama mas Anton belum mau punya anak... aku kira
kemarin Cuma masuk angin, pas aku ke dokter ternyata aku hamil tiga
minggu...” suara Gita yang awalnya tinggi mulai melemah.
Aku kesal. Bagaimana bisa orang yang sudah lebih dari setahun menikah, panik karena hamil.
Bukannya bagus ya?
“terus aku harus gimana?”
“bel,
kemarin mama Yanti ngasih aku jamu peluruh... hari ini aku pendarahan,
baru dua kali minum sudah keluar. Tapi liat darah menggelontor begitu
aku kok nyesel yah... gatau juga aku harus ngomong ke siapa...”
Giliran cerita bego begini, ceritanya ke aku...
“maaf
ya Git, bukan aku ga peduli tapi bingung juga harus jawab apa...
ngomong apapun bakal terkesan sok tau... aku belum berumah tangga, belum
tau masalah-masalah begitu”
“iya Bel, makasih udah mau dengerin aku... aku gatau lagi harus ngomong ini ke siapa...” Gita terdengar kalut.
“semua udah kejadian, fikirin aja kedepannya kamu mau gimana...”
Tak ada jawaban.
“maaf aku terdengar angkuh dan kurang berempati sama masalah kamu, tapi sejujurnya aku juga bingung harus ngomong apa..”
“iya bel gapapa.. “
Baru aku mengambil nafas untuk bicara, Gita memotong..
“bel udah dulu yah, mama mertuaku datang nanti disambung lagi..”\
Tututuuuuttt...
Handphone
terjatuh ke pangkuan, aku masih duduk di ujung tempat tidur. Menerawang
apa yang terjadi pada rumah tangga teman kuliahku itu. Satu jam lebih
aku duduk begitu. Tapi
tetep ga ngerti.
***
Setengah sepuluh pagi, beberapa jam setelah telepon Gita...
Suasana
kampus cerah ceria, orang kesana kemari dengan muka bebas. Oh aku baru
tahu hari ini akan banyak dosen yang tak masuk karena ada acara ulang
tahun kampus. Aku mengedar pandang mencari temanku Ayu dan Laras. Aku
berjalan ke bangku taman tempat mereka duduk-duduk cantik.
Disana tak ada Ayu dan laras, aku berinisiatif mengirim multiple sms...
“dimana?”
Aku yang kepanasan memilih merubah haluan menuju kantin, sambil menunggu sms dibalas Ayu dan Laras.
Tiga puluh lima menit kemudian...
“Bel dimana? Kita di selasar. Ayu ga ada pulsa.” Sms balasan dari Laras. Aku meluncur kesana.
Mereka berdua mukanya tegang sekali. Aku mendekat dan bertanya basa-basi.
“duduk deh Bel, kita mau cerita...” Laras membuka obrolan. Romannya ini akan serius.
“Bel, Si Widya kabur...”
Ha? Kabur? Adik si Ayu yang baru semester satu itu kabur?
“kabur kemana??” oh, ini pertanyaan bego!
“ya kalo tau mah aku susul Bel...”
“Ehm maaf! Maksudnya kapan dia terakhir keliatan? Kok bisa kabur?”
Ayu terlihat sangat kalut dan tak kuasa menjawab.
Ini hari kok sedih banget, pagi-pagi denger keluhan si Gita, sekarang si Ayu. Semoga sialnya selesai sampai disini.
“si Ayu mergokin si Widya lagi nelpon pacarnya dan ngomongin kehamilan dia sama pacarnya..” Laras memulai, seperti biasanya.
What?? Lagi-lagi tentang kehamilan. Ini maksudnya apa sih?!
“terus...” aku penasaran.
“iya
si Widya tau kalo aku dengerin obrolan dia di telpon semalem. Pas
pagi-pagi aku bangun dia udah ga ada di rumah, mama panik dan aku ga tau
harus gimana. Mama gak tau soal kehamilan Widya, aku juga taunya gak
sengaja karena nguping telponan dia di ruang tamu... “ Ayu menimpali.
“udah kamu cari ke temannya..?”
“sudah... aku udah telponin semua teman-temannya tapi ga ada yang tau..” Ayu sedih.
“ehm..” aku mau bicara, tapi Ayu keburu bicara lagi.
“aku takut dia gugurin kandungannya, Bel...” Ayu berbicara nanar.
Aku memeluk Ayu, ini empati betulan.
Tuhan, kenapa yang ga pingin punya anak malah dikasih. Sedangkan yang bertahun-tahun nunggu malah ga dikasih...
aku agak protes dan sedih...
Kita
bertiga sedih. Lebih-lebih aku, yang tadi pagi mendengar cerita yang
sama-sama bertema kehamilan yang tak diinginkan. Kesedihan dan kegalauan
jadi berlipat lipat, bergulung-gulung menerjang isi hati.
Sudah waktunya masuk kuliah, kita pura-pura kuliah. Ya pura-pura, karena yang kuliah itu badan, fikirannya kemana-mana.
Jika
sedang tak konsentrasi kuliah aku biasanya lebih sering coret-coret
buku. Kadang coret-coret tak bermakna, kadang curhat, kadang
menghasilkan sebuah karya kacangan.
Diam-diam aku menulis, dengan
ujung pulpen yang aku tutupi dengan punggung tangan biar teman sebelah
tak membacanya. Tapi baru satu bait bikin puisi, konsentrasiku buyar.
Aku malah ingin membuka laptop dan mencuri sinyal wi-fi kampus. Dan
mulailah aku membuka situs tautan video yang paling kusuka. Aku mencari
video artis cilik kesayanganku, Jackie Evancho. Tapi rasanya jadi kurang
seru kalo terlalu banyak
buffering. Aku matikan saja dan aku
buka Ms.Word untuk mengetik dan menyalakan winamp yang tentunya sudah
lebih dulu kupasang headset. Memutar lagu Jackie Evancho. Aku mulai
mengetik tanpa mempedulikan dosen yang bicara di depan sana. Badanku
yang mungil sudah terhalang oleh Adit.
Aku baru menulis
satu kata... RINDU... aku berhenti mengetik, aku mengedar pandangan ke
sekeliling, setelah merasa aman dari perhatian teman-temanku barulah aku
bisa menulis lebih banyak lagi.
Rindu adalah rindu.
Aku tak mau berdebat dengan siapapun mengenai rindu. Kan kubiarkan semua
orang menerjemahkan rindu itu sesukanya. Jika kau mau tau rasanya
rinduku itu bagaimana, maka akan aku ceritakan bagaimana gelisahnya aku
jika jalan-jalan ke mall lalu melewatkan toko pernak pernik bayi, atau
betapa aku hafal setiap fase kehidupan bayi dari
prenatal-neonatal-postnatal karena seringnya aku membaca semua tentang
itu agar nanti tak salah kaprah. Maka itulah rasa rinduku yang
sebenarnya, rasa rindu yang tak hanya diketik jempol tapi dijalani oleh
setiap ruas jiwa ragaku. Diamini pengetahuanku, dihempaskan udara
nafasku, semuanya... bahkan alam bawah sadarku, juga!
Aku
ingin ada yang berdenyut, mengalirkan separuh darahku untuk
kehidupannya. Dialah kekasih yang akan merengek minta dibuatkan susu,
diantar sekolah, dimintanya mengantar pipis saat malam hari tiba.
Aku akan kelelahan mencintaimu, sayangku! Bagaimana bisa cinta itu melelahkan?
Bisa. Jika setiap hari aku harus bangun tidur disisimu, menyiapkan
bekalmu, keluar rumah mengantarkan sekolahmu, mencium bau mataharimu,
menyeka keringatmu, mencuci baju kotormu, dan mencintai ayahmu. Oh
bahkan cintaku padamu mengalahkan rasa cintaku pada ayahmu, suamiku yang
aku cintai beberapa saat sebelum kau ada! Makhluk apa gerangan kamu,
wahai kecil mungil dan melenakan..
Boleh aku panggil kamu tuan malaikat kecil saja?
Gara-gara
kamu aku jadi rajin baca, rajin dengar pengajian, ikut seminar
parenting dan belajar sunggu-sunguh saat dosen menerangkan bagaimana aku
harus menjadi manusia terbaik untukmu. Ah tuan malaikat kecil, belum
ada saja kamu sudah begitu banyak menyebar kebaikan apalagi sudah ada.
Tapi
tahukah kamu, disaat yang sama dengan ditulisnya rindu ini untukmu, ada
temanmu yang bahkan belum sempat menikmati indahnya berenang dalam
perut ibu tapi sudah terusir dan masuk wc. Ini mungkin akan jadi satu
dari banyak bagian ceritaku untuk melatih kepekaan perasaanmu nanti
kalau kamu sudah mengerti, bahwa kau amat beruntung telah dirindukan
jauh-jauh hari dan di doakan keselamatannya.
semesta tahu aku ingin kamu...
Seandainya
aku bagian dari alam rahim, sepertinya aku akan pingsan kelelahan
menangisi warga alam rahim yang diusir dengan kejam oleh ibunya. Kamu tak sedang menangis juga disana kan sayangku? Hmm.. Tapi
kalau kau tak tahan, menangislah untuk temanmu yang dikejami itu, tapi
jangan lama-lama karena kau akan menyongsong bahagia bersamaku. Itu
takkan terjadi padamu. Sudah... sudah...
Oh iya tuan malaikat kecil, rasanya aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Kapan kita bertemu ya? Maunya sih secepatnya... Biar
aku siapkan segala sesuatunya. Biar aku belajar bagaimana caranya agar
aku tetap mencintai semua yang sudah ada ini dari sekarang. Aku takut
nanti kedatanganmu membuat malaikat lain cemburu.
Untukmu aku
sudah siapkan beberapa file surat cinta yang aku tulis di usia awal
20-an. Beberapa memang sudah kau baca, tapi sebagiannya belum aku kirim.
Biar jadi kejutan saja saat ulang tahun.
Sudah dulu ya, dua SKS memang singkat. Tau-tau dosennya sudah pamit keluar. Nanti aku kasih tau lah SKS dan dosen itu apa kalau kamu sudah jadi malaikat besar.
Peluk cium,
Allegra bellezia –Abel
Aku matikan laptop, bergegas meninggalkan kelas bersama Adit, Ayu, dan Laras.
***
Sembilan hari kemudian...
“Bel aku mau cerita...” Ayu terdengar lesu.
Kita mencari tempat paling sepi untuk bicara. Aku faham betul, ini akan jadi permbicaraan penting dan rahasia.
“Mamah sudah tau soal kehamilan Widya, bel... dan mamah sedang
mengusahakan pernikahan Widya minggu depan...” Ayu suaranya berat.
Pernikahan itu... Tuhan, begini ya cara impian kami dihentikan?!
“bayangin
aja Bel, pernikahan yang aku impikan seakan hancur. Debaran
menikahkanku sebagai anak perempuan pertama akan luntur karena mamah
menikahkan Widya lebih dulu..” Ayu semakin emosional.
“sabar aja yu..” aku kehabisan kata-kata.
“aku maunya sabar, tapi... “ tangis Ayu pecah..
Aku memeluk Ayu...
Ayu adalah sahabatku, kami terpaut tiga tahun. Dia lahir lebih dulu.
Dunia dia besar, temannya banyak, wawasannya luas. Dia adalah salah satu
sahabat terbaikku selain Laras dan Adit. Kami sama-sama terobsesi
menikah muda. Bedanya aku lebih cenderung pada ingin jadi ibu, dan dia
jadi istri pejabat. Setiap membicarakan itu, matanya selalu berbinar.
Aku tau dia sangat menginginkannya.
Tapi kali ini aku melihat dia
benar-benar kalut. Mungkin bisa dibilang hancur. Matanya memantulkan
cahaya kesedihan, tak lagi berbinar. Mimpinya dirampas oleh adik tirinya
sendiri dengan cara yang curang. Dan aku sahabatnya, tak bisa berbuat
apa-apa selain ikut bersedih.
***
Pernikahan
itu tiba, dan tentu saja tanpa undangan. Suasananya mengerikan, bahkan
jauh lebih mengerikan ketimbang sepak bola tanpa penonton. Sucinya
pernikahan tak diiringi suka cita, semua senyum alakadarnya hanya untuk
foto.
Ayu terbaring sakit, makanya dia tak terlihat dalam kumpulan
keluarga besarnya. Aku tahu karena pada saat itu ayu tengah berbaring
di balik selimut dengan mata pura-pura terpejam, padahal tangannya sibuk
mengetik sms kepadaku. Melaporkan setiap detik pernikahan nista adiknya
dengan Tomy.
Aku merasakan sakitnya...
Di bagian bumi yang lain, aku menangis untuk Ayu-ku...
***
Tiga bulan sudah sejak aku mendapat telepon yang berujung kesialan sepanjang hari dari Gita.
Aku
dengar dia dan Mas Anton pindah ke luar kota yang jaraknya lebih jauh.
Mas Anton pindah kerja katanya. Dari status fesbuknya ia selalu pamer
kebahagiaan. Ya bagaimana tidak, suaminya yang bekerja di perusahaan
tambang asing pastilah menghasilkan pundi-pundi rupiah yang lebih dari
lumayan. Rumahnya baru, dan sebuah
city car sering kali jadi bagian dari foto-foto yang di uploadnya.
Sebagaimana pada kesedihan Ayu, yang aku ikut bersedih.
ikut sakit pula.
Pada kebahagiaan Gita aku malah sebaliknya. Aku melihatnya sebagai
kebahagiaan semu dan sulit untuk aku ikut bahagia. Rumah tangga bahagia
takkan membiarkan darah dagingnya diguyur kedalam wc. Istri yang bahagia
tak mungkin menutup telepon dengan panik saat mama mertua datang
mendekat.
Aku melihatnya palsu...
***
Hari ini aku sudah lupa berapa bulan sejak bulan oktober yang
menyedihkan itu. Sekitan tiga tahunan lah. Setahun yang lalu aku
meninggalkan tempat aku sekolah, aku sudah sarjana. Laras, Ayu dan adit
juga.
Aku membuka laptop putih kesayanganku. Ada wallpaper foto wisuda empat orang manusia. Tiga wanita, satu pria.
Masih dalam laptop yang sama, danMs.Word yang belum di upgrade dari
yang dulu. Aku mencoba mengetik lagi, kali ini untuk Monik...
Dialah sahabat, rekan kerja, dan saksi betapa aku mencintai hidupku enam tahun ini....
Selamat malam monik, sudah enam tahun ya usiamu sekarang...
Kau
bukan sekdar laptop canggih, kau sudah jadi bagian hidupku. Tanpamu
mungkin titel mahasiswaku akan diperpanjang beberapa tahun lagi. Amit amit.
Aku
bahagia sekali monik, sahabatku Ayu kemarin menikah. Dan kau tahu?
Suasananya masih sehebat yang pernah Ayu impikan dulu waktu kita kuliah.
Aku melihat kesibukan malaikat kebahagiaan memenuhi hasrat semua
manusia yang ada. Aku salah satunya..
Kebahagiaan tetap menjadi kebahagiaan, cuma masalah waktu yang tepat...
Kau tentu ikut bahagia, karena kau sahabatnya juga....
...................
........................
Tulisan menggantung belum selesai, aku sudah ketiduran. Zzzzz....