Sabtu, 25 Februari 2012

didepan muka galau aini


Di depan aini, tatapanku hilang...
Sama jauh dengan matanya...
Tatapan kami terlalu jauh,
Mungkin sampai ratusan kilometer ke arah yang berbeda...
Atau mungkin lebih jauh lagi,
Menembus semesta lain..
Aku mengapung mencari waktu,
Entah mencari arti pertanyaan
Atau bertanya mengenai arti...
Keduanya sama abu-abu,
Seperti langit sisa salakan tuan petir...
Hujan, menderaslah...
Kaburkan suara hati yang menderu mengharu biru...
Aku Cuma takut, ada atau tidak ada aku bagimu sama tak ada artinya...

Rabu, 01 Februari 2012

bawalah, meski sampai ke ujung utara...

Kamu tergugu...
Memeluk dirimu sendiri, membiarkan aku..
Aku jadi seperti sendiri, padahal ini perahu kita...
Yang kita kayuh bersama meninggalkan daratan...

Kau begitu setia, kendati tak lagi banyak bicara...
Dulu kau yang bicara tentang dunia lain,
Penuh semangat dan keyakinan...
Mengebugebu mencintaiku...

Tapi sampai angka angka di kalender berjatuhan,
Belum ada kata “sampai”...
Entah berapa lama lagi kita berlayar begini...
Dan kumohon hei lelaki yang kucinta,
Berhentilah gelisah dan berdiam diri...
Carikan lagi aku kekuatan,
Biar tak ingin pulang dan percaya ceritamu...

ini cinta, bukan buat ditanya..

seperti hari lain,
hari ini juga sepertinya kau akan bertanya lagi..
kekonyolan yang terus berulang tanpa diminta...
hmm.. ayolah..
ini bukan lagi prolog...
bukan pula sebuah permainan abadi..
jadi berhentilah mempertanyakan dan saksikan...

cintaku besar,
berapapun ukurannya yakinlah itu masih lebih besar dari yang kau minta...
hanya untaiannya saja yang sederhana...
tapi molekulnya padat...
dan kau tak perlu ragu...
karna cintaku masih layak tuk disejajarkan dengan apa yang kau bilang berharga...
kuberi cumacuma, selalu..
bahkan saat kau lupa membalasnya...

meski hanya disini,
ditempat yang terkurung rongga dada dan berselubung darah...
kau masih bisa merasakan dahsyatnya...
bahkan sampai jauh kehatimu juga,
berputarputar mengacaukan fikiranmu dengan sempurna...
maka untuk hari ini,
simpanlah pertanyaanmu tentang aku mencintaimu...

bilangan jarak ini bukan apa-apa, tapi kamu adalah apa-apa!

Dan meski tiada lagi dekat,
Kita masih semesra lagu-lagu cinta...
Aku tak mau menghitung lagi jarak,
Biarkan saja mendekat menjauh...
Merapat menghilang...
Berjalan seperti apa yang digariskan Tuhan untukku untukmu...
Berjalan tenang mengikuti cahaya kebenaran Tuhan...

Hitungan itu seperti tiada lagi berarti,
Saluran Tuhan tlah mengurainya menjadi cerita...
Jauh... dekat...
Sama saja!
Hati yang padu tlah menepikan segala resah...
Biar saja gemunung pilu menjadi lalu...
Kendati hati terkurung rongga dada,
Sulur pesonanya menjuntai hingga jauh kehatiku kehatimu...
Melawan segala dera...
Yang terbentang jarak,
Yang mata tiada bisa saling memandang...
Arahnya tiada bergeming...

Sekian lama hangatnya tatapan tak saling bicara,
Dan tiada tidur damai dalam pelukan...
Waktu hanyalah bilangan,
Tapi cinta tetap menjadi cerita...
Selagi bertaut, atau setelah tercerabut...
Walau tak setulus cinta ibu yang berdarah-darh melahirkanmu...
Yakinlah ini bukan sekadar mainan...

Aku belajar darimu,
Aku belajar memahamimu...
Malam-malam sering aku memikirkanmu...
Yang pernah khilaf itu mulut kami,
Bukan hatimu...
Hatiku juga bukan..

mengeraslah, atau kau akan musnah...

Sejak permulaan waktu...
Satu-satu debu membeku,
Memberat menjadi batu...
tak lagi berpindah-pindah
hinggap di gurun, di atas gunung-gunung...
atau dipermukaan sauh kehidupan...
sekarang aku bisa memilih diam, membiarkannya berlalu semauku...
Angin sekedar teman...
Sekalipun kencang, aku  tiada ingin bergeming...
Ini bukan tentang sesuatu yang berbeda...
Tapi tak juga sama...
Aku hanya berganti rupa,
Dan mengeras...
Tak lagi takut dengan desau angin...
Aku tlah kuat walau dengan hantaman badai..

Sedang kau sebaliknya..
Mengakhiri waktu dan memudar...
Menciut mengeriput...
Seperti kesatria tua yang kalah perang...
Terdampar di tanah asing ketakberdayaan...
Kau di titik nadir sekarang...
Kau terperangkap,
Menanti pertolongan Tuhan yang sama asingnya bagimu..
Berdoalah sekencangnya,
Mohonkan kemuliaan dan kebugaran yang dulu kau genggam..
Pada Tuhan masa kecilmu..

Dan...
Waktu pula lah yang mengurung kita di pertemuan kecil...
Kita bertemu dalam tanah yang sama...
Tanah yang tak berarti apa-apa bagiku,
Tapi padang nestapa bagimu...
Aku tlah terbiasa, tapi kau masih tersiksa...

Sejak itu...
Hampir setiap hari kita bersapa,
Saling membicarakan kepedihan...
Aku bilang itu masa lalu,
Tapi tak begitu adanya bagimu...
Katamu di atas tanah ini kau akan membusuk,
Bersama masa indah yang terkorosi...

Tapi aku tak ingin kau segera mati...
Sunggguh aku masih ingin bicara banyak denganmu...
Mulai besok kau tak perlu menjadi besi masalalumu..
Katanya kuat, tapi dengan sedikit air saja kau hancur..
Jadilah apapun yang menjadikanmu abadi disisiku..
Setidaknya, kuatlah sampai hari-hari bagian kita kembali..

dia bernama kabar...

Hei...
Apa kabarmu sayang..?
Menatap aku,
Tapi matamu kosong...
Liku fikiranmu tiada bisa kusentuh...
Tanganku ingin meraih wajahmu,
Mencengkram rahangmu..
Mengejar tatapan yang tiada bertepi...
Memaksamu tau aku dihadapan..

Lalu apa kabarnya dengan hati,
Yang ingin disentuh tapi tersembunyi...
Terpenjara rongga dada, bersaputan darah..
Tapi rindu dipeluk...
Andai wajah yang kubenamkan di dadamu bisa menembusnya,
Kau hanya boleh diam dalam pelukan..

Oh apa kabarnya juga waktu-waktu itu,
Kemana perginya saat-saat terbaik yang cuma dibuat untuk kita..
Andai bisa kita kurung,
Waktu itu kan kupaksa makan tidur denganku,
Biar tak susah begini..

apa kabarnya masa depan kita,
sekujur raga tlah dimakan usia..
tapi tetap begini saja...
detik-detik beringsut pergi
tanpa sepatah katapun...

Dan lagi apa kabarnya cinta,
Yang katanya melampaui segala bentuk perbedaan, perselisihan dan pertengkaran...
Yang meniadakan keraguan dan kerumitan akal sehat...
Yang tak kenal penghujatan,
Dan memberi aku kamu pengharapan setinggi langit...

Semua yang ingin kutau tercekat satu kata bernama kabar..
Yang tak hadir saat ini,
Yang sepertinya akan benar-benar mati sesegera ia bisa..
Tenggelam bersama langit sore..

Sekali saja,
Tuhan kabari aku mencintainya...

ini bukan sekedar bilangan, tapi cinta...

“Coba Anindia, sembilan kali tujuh itu berapa?”
Lagi-lagi Anindia celingukan bingung, entah harus mengarang angka berapa lagi untuk mencoba menjawab pertanyaanku -Si Ibu guru kecilnya-
Anindia tampak menggigiti pensilnya, memukul-mukulkannya ke kepala tanda ia gelisah, wajahnya memucat pasi dan sorot matanya kehabisan semangat.
Aku semakin kehabisan akal mengajarkan konsep perkalian pada Anindia, seorang anak kelas empat SD yang sejak dua bulan lalu menjadi murid privatku...
Pelajaran berakhir disini, di perkalian sembilan...
Aku pulang dengan gontai karena merasa tak bisa membantu Anindia menjadi lebih daik dalam pelajaran matematika.
.....
                                                                                ****
Beberapa hari kemudian, aku ke gudang mengobrak-abrik seluruh koleksi buku pelajaranku sedari kecil. semua buku masih terjaga karena jarang ku pakai, hanya beberapa saja yang sering ku baca dan kupelajari, selebihnya hanya pelengkap identitas bahwa aku seorang siswa. buku-buku pelajaran hanya sebagai penunggu tas pada masanya, tak lebih menarik dari buku cerita atau majalah favoritku. hanya saja ia selalu kurawat dengan rapi untuk kupinjamkan pada saudara yang tak  sanggup membeli buku di tahun berikutnya dan aku minta itu dikembalikan dengan utuh setelahnya... aku hanya sebagai pengkoleksi, bukan pembelajar... hubunganku dengan buku-buku itu tak terlalu akrab, jauh dari kata mesra...
Kardus demi kardus kubuka, dan aku bertemu dengan sebuah tumpukan buku –lagilagi tak terlalu akrab-  tapi aku merasa harus mengambilnya dan meyakinkan buku inilah yang aku cari..
Halaman pertama ku buka, aku magut-magut pertanda setuju dengan dugaanku..
Kubuka berikutnya, berikutnya, dan...
.....
                                                                                ****
Waktu itu aku kelas dua SD, sepulang ayah dari kantor aku dipanggil dan diberi dua lembar kertas. Aku bingung, surat apa ini? Dari siapa? Aku tak terbiasa mendapat surat yang di jeplak-jeplak mesin tik seperti surat ayah dan para ibu-ibu guru.
Setelah dibuka, isinya angka-angka yang berederet ke kanan kekiri, dari atas kebawah, HVS-nya penuh dengan angka... aku bergidik.
Judulnya tertera di tengah bagian atas “PERKALIAN”
Kami yang hanya anak kampung lebih akrab mengenalnya dengan raraban, ya sebuah deretan perkalian yang dibuat dengan sistematis agar lebih mudah dihafal anak-anak yang baru belajar perkalian.
Aku yang sedari tadi geer, kini tersadar. Ayah menyuruhku belajar perkalian, kendati tak pernah diucapkan. Tapi surat cinta “raraban” ini tlah mewakili apa yang seharusnya keluar dari mulut, kata-kata sudah tak perlu lagi diucapkan.
Kemudian,
“ yang satu ditempel dikamar ya, yang satu lagi pegang saja untuk kamu hafal sebelum tidur..”
Ayah bilang begitu.
Satu hari...
Sepuluh hari..
Sebulan...
Aku memang benar sering menghafalkannya, namun yang aku baca hanya perkalian satu dan perkalian sepuluh karena terasa lebih gampang. Yang lainnya biar menjadi contekan dan kusimpan kertas itu dalam tempat rahasiaku... dan hilang tanpa kusadari...
Kemampuan matematisku tak lebih baik dari tahun ke tahun, hanya sedikit terbantu karena tak termasuk murid bodoh dikelasku. Dan (sepertinya) tak ada yang peduli.
.....

Tahun demi tahun, jenjang demi jenjang, ijazah demi ijazah ku raih...
Sampai hari ini, sesaat  sebelum aku kembali bertemu dengan lembaran-lembaran raraban yang duabelas tahun lalu ayah buatkan khusus untukku, si putri kecilnya. Aku masih belum sadar betapa dua lembar kertas itu mewakili segala keinginan, segala harapan dan dukungan yang luar biasa agar aku berhasil menyelesaikan separuh tugas dasar menghitungku dengan baik..
Aku mengenalinya dalam ingatan, sebuah titik balik yang terlupakan...
Sebuah sikap yang amat memalukan dan sama sekali tak berhati, sesuatu yang dengan sepenuh hati dibuatkan ayah lalu malah aku simpan begitu saja.. jahat sekali aku ini!
Aku kemudian terenyuh dan beristighfar dalam hati, meletakkan deretan perkalian itu di dadaku, meresapkan kekuatannya kedalam hati... aku menatapnya sekali lagi, dengan isi yang kini sesungguhnya sudah kuhafal entah dengan cara apa... kali ini bukan lagi mata yang membacanya, tapi segenap hati yang hidup membacanya jauh lebih dari sekedar tentang perkalian.. aku membaca tentang kasih sayang, komitmen, dan doa yang berjumput jumput untukku..
Hangat airmata rasanya belum cukup menggantikan hangatnya lembaran lusuh itu dihatiku, berbulir bulir airmata kubiarkan berjatuhan dipipi tanpa ku seka... aku masih ingin berpelukan dengannya, andai bisa ingin aku memohon maaf atas dua belas tahun pengkhianatanku...
Buku matematika SD yang tadinya ingin segera kubaca, tergeletak begitu saja. Tak ada lagi pesona yang mengalahkan selembar kertas perkalian yang kutemukan di sela-sela buku itu, yang kusembunyikan sekian lama dengan niat yang sungguh konyol.
Setelah puas menggelontorkan airmata, kucari handphone yang masih tersimpan dalam tas. Ada kerinduan yang mendalam dari seorang anak remaja yang baru menyadari cahaya cinta ayahnya yang berpijar duabelas tahun lalu, kubuka phonebook. Ah tertera sudah di layar handphoneku “ayah_sayang” ingin kutekan tombol ok untuk menelpon, tapi rasanya aku kehabisan kata untuk bicara, lagipula suara telah parau sisa tangis barusan, beliau pasti akan gelisah dengan suaraku maka kuurungkan niatku dan menekan tombol berikutnya untuk opsi send message.kukirim pesan singkat,
                “assalamualaikum, ayah apa kabar?” aku terdiam sejenak, mengumpulkan kata berikutnya tuk meredam segala rasa yang bergejolak dan mengungkap betapa aku memohon maaf, berterima kasih, dan mengungkap bahwa aku mencintainya juga walau tak sedalam beliau mencintaiku. Tapi otak sepertinya tak lagi berdaya tuk merangkai kata yang memuat begitu banyak pesan dan jawaban. Aku tak bisa lagi mengungkap apa-apa, namun ada satu kalimat yang berhasil meloloskan diri dari cengkraman kepala yang mulai sakit karena sedikit menegang “..semoga ayah sehat selalu.. J”  dan kutekan send. Pesan itu terbang melintasi batas jarak puluhan kilometer, dan sesungguhnya tak hanya menyampaikan dua kalimat tadi tapi juga menyampaikan pesan dari hati –terima kasih untuk kasih sayang sepenuh hati, yang tiada surut meski dihadang badai.. terima kasih atas cinta yang begitu besar, yang tetap lebih besar dari ukuranku yang beranjak dewasa.. aku mencintaimu ayah...-aku melafalkan doa dalam hati, yang kalimat-kalimatnya hanya bisa dimengerti aku dan Tuhan.. ada kelegaan saat handphone berbunyi mengabarkan pesannya telah terkirim, aku yakin kelegaan itu artinya sampai sudah isi hati yang penuh sesak mengisi rongga dada dan isi kepala kepadanya...
Aku terdiam, dan mulai bisa tersenyum bangga atas kebaikan yang aku dapat dari sebuah pertemuan dengan selembar kertas itu... lega sekali.. meski harus bersembunyi belasan tahun dalam lipatan buku yang menyesakkan, kau datang di saat yang tepat seperti yang Tuhan rencanakan. Membawa pencerahan di masa yang sama sekali tak mengenal cahaya apa-apa.
-tok..tok..tok...
Ah, ada suara yang mengetuk pintu. Aku segera menyeka airmata yang tersisa, dan beringsut menuju meja belajar dan bersandiwara seolah tak ada apa-apa.
“masuk.. ga di kunci!”
Krekkk.. suara pintu di buka. Seketika muncul wajah Arini dari balik pintu.
“San, matamu kenapa?”
“ah biasa, ketiduran sambil baca buku..” aku menjawab sekenanya.
“ah kebiasaan... ini, aku mau ngembaliin staples yang kemaren dipinjem.”
“oh iya, sini..” tanganku meraihnya, dan berharap teman kost ku itu tak berlama-lama bertamu dikamarku.
“keliatannya kamu ngantuk, aku balik skarang yah.. takutnya kamu mau istirahat. Makasih ya.” Arini berlalu.
Terdengar suara pintu ditutup.
Aku menarik nafas panjang, lega karena acaraku membaca ulang deretan perkalian itu untuk ke puluhan kalinya sejak satu jam lalu aku menemukannya takkan terganggu.. kubaca.. kubaca.. kubaca lagi.. seperti surat cinta, hanya dengan bentuk huruf yang luar biasa dan amat romantis...
Terima kasih ayah,
Aku mencintaimu sampai mati..

selubung bisu

Kita berhadapan namun tatapan kita berlarian, adakah rasa ingin bertemu itu hilang..
Bagaimana bisa dua manusia yg lama saling mencari tahu keadaan dan keberadaan malah merasa asing..
Ketahuilah, bahwa cuma ingkar yang bisa menjelaskan..

Aku tak bisa bicara,
Tapi barangkali tatapan bisa mengurai segala yang ingin kubicarakan..
Maka dudukan hatimu ditempat kau duduk, ialah di depanku..
Menatap mataku yang tak bisa lagi menyembunyikan isi hati..

Rasakan bahwa takdir sedang menyelubungi kita..
Aku, kamu, kita tak bisa bergerak apalagi melawan..
Kita terperangkap dalam selubung yang penuh sesak dengan cinta, ego, ambisi, dan saputan darah yang tak pernah kita minta..
Kita datang di rimba yg tak sempat kita duga,
Aku kamu datang dengan warisan yang tak bisa kita tawar-tawar..
Dan kita sudah menghirup udara tanpa bisa pilih-pilih..
Semuanya sudah satu paket, seperti sebuah smartphone yg diciptakan bersamaan dengan pelengkap..
Aku kamu bisa hidup karenanya, karena tek-tek bengek itu..
Mau tidak mau, suka tidak suka..

Kamu bukan apa-apa bagiku, begitupun aku..
Bahkan untuk saling menjadi tek-tek bengek bagi yang lainnya saja kita tak pernah..
Namun ada makna yang tak bisa aku urai satu persatu.. Entah bagimu..
Yang jelas bukan sekedar debu..

Kubilang kita terperangkap dalam selubung..
Kendati kita bisa saling memberi dan menyakiti sekaligus..
Aku kamu seperti air dan api dalam tabung berlainan..
Air akan keluar untuk meredakan api yg mengamuk..
Begitupun api yang akan melindungi keberadaan air dari cemaran kuman..

Tapi sadarilah ruang kita berbeda..
Lihatlah pula diri yang tersusun dari senyawa yang tak mungkin padu..
Berhentilah untuk melawan semestamu..
Kita harus memecah, dan pulang ke selubung kita masing-masing..
Sebelum sama-sama musnah..
Tanpa memaksa yang lainnya percaya..
Perduliku hanya kepadaku, dan kepadamu..

Sekarang kau boleh menunduk,
tenggelam lagi dengan tatapanmu..
Jika mau, bawa pulang juga hatimu yang sedari tadi tak henti mondar-mandir..
Kedalam selubungmu..

cinta adalah...

Cinta.. cinta.. dan cinta..
Kudengar..
Kukenal..
Kusebut..
kurasakan...

katanya,
Cinta yang tak mengenal ruang dan waktu,
Cinta yang melampaui segala bentuk perbedaan,
Dan cinta yang resisten atas segala bentuk penghujatan..

Maka izinkan aku menerjemahkannya sendiri dalam frase yang sederhana..

Cinta adalah ketika aku sibuk memilih baju terbaik untuk bertemu denganmu...
Cinta adalah ketika aku mencicipi teh madu buatanku sebelum kuberikan kepadamu..
Cinta adalah ketika aku hanya terfikir namamu saat terjebak dalam kepanikan masalah...
Cinta adalah ketika kupilihkan makanan terbaik untukmu agar kau selalu sehat...
Cinta adalah ketika kuangkat panggilan teleponmu saat aku asik terlelap...
Cinta adalah segala doa untuk kebaikanmu...
Cinta adalah air mata perpisahan denganmu...
Cinta adalah keterbatasan, agar tak lepas dari perlindunganmu...
Cinta adalah penerimaan, agar kamu senantiasa cukup jadi manusia saja tuk dapat segalanya...
Cinta adalah optimisme saat kau hadir tanpa pengharapan sedikitpun...
Cinta adalah persepakatan hati dan logika untuk hanya memilihmu...
Cinta adalah janji suci, agar aku hanya untukmu...

Cinta adalah rasa...
Cinta adalah pilihan...
Cinta adalah kekuatan...
Cinta adalah pengorbanan...
Cinta adalah komitmen...
Cinta adalah jelmaan bentuk yang hanya dimengerti hati,
Dan tiada tersentuh ukuran dan angka-angka,
Apalagi alasan...

semesta malaikat kecil

by Tsania Ulfah Muhdin on Thursday, October 20, 2011 at 4:33pm
Selamat malam dunia, maaf aku tidur larut...
Baru saja aku menonton sebuah video kehidupan, emh tepatnya terpisahnya dua kehidupan. Prosesnya sedikit mengerikan, namanya juga “pemisahan”. Tapi setelah berpisah keduanya menjadi indah, mungkin karena dari awalnya sudah indah saat terpisah jadi lebih indah. Yang satu menjadi malaikat penjaga, yang satunya menjadi penentram jiwa. Tapi tunggu, ini bukan surga. Malaikat ini berseragam lain dari yang kau lihat di televisi. Disini si malaikat penjaga memakai baju motif bunga berrenda, dan malaikat penentram jiwa memakai popok. Skenarionya mengharuskan begitu, jadi sudahlah tak usah terheran-heran.
Laptop kumatikan karena tak tega mendengar nafasnya yang ngos-ngosan kepanasan terlalu lama dipakai, tapi tapi tapiiii lengan bajuku jadi panjang sebelah. Oh My god, selagi menonton video tadi aku menarik-narik lengan bajuku sendiri menahan rasa ngilu. Cacat sudah ini baju kesayangan, padahal belinya mahal, katanya handmade, tapi ya sudahlah. Kembali ke si malaikat, oh jangan pake “si” kita panggil saja tuan. Tuan malaikat penjaga itu mukanya adem sekali seperti air terjun, suaranya terdengar berwibawa tapi menenangkan. Sedangkan si tuan malaikat penentram jiwa berwatak ceria dan mempesona. Bagaimana bisa ya, dua malaikat berbeda muncul dari satu titik yang sama. Tapi itulah kenyataannya. Tuan malaikat berpopok itu tadinya menempel pada tuan malaikat berrenda, setelah Tuhan mewisuda tuan malaikat itu dari sekolah alam rahim maka tuan malaikat berpopok itu sudah boleh memisahkan diri untuk menjalani tugasnya sendiri. Maka jadilah ia malaikat penentram jiwa, yang akan menentramkan semesta ini dengan caranya sendiri.
Enam jam setelah aku melihat video itu, aku masih terbawa suasana membayangkan proses pelepasan dua malaikat menjadi dua individu berbeda tadi, betapa malaikat penjaga itu sampai berdarah darah mengeluarkan malaikat penentram jiwa yang kecil dan tak berdaya. Pengukuhan menjadi malaikat itu memang tak gampang, berkorban dengan iklas dan sukacita adalah syaratnya. Takut? Barangkali ini adalah pengecualian. Proses mengerikan ini tak membuat aku takut, aku malah semakin gila ingin melalui proses itu dan bermetamormofis menjadi malaikat yang mungkin seragamnya akan beda lagi.
Sudah hampir pagi, lengan baju yang jebaw aku biarkan saja. Aku harus tidur sejenak sebelum ketahuan ibu aku begadang.
                                      ***

 Selamat pagi kampus, matahari tak malu malu unjuk gigi pagi ini. Cahayanya membuat si buta saja tahu kalau matahari sedang tersenyum nyengir.
“Bel! Sinii...”  tiba-tiba temanku memanggil dari parkiran.
“Apaan? Ada kuliah nih buru-buru...”
“sini dulu deh, ada gosip baru!”
“ah males ah, pagi-pagi sudah bergosip!” aku berkelit mencari alasan biar tak jadi ngobrol saat itu, padahal sebagai perempuan yang memerempuan aku juga suka bergosip.
“yaudah, aku sms nanti ya!” laras mulai putus asa dan pasrah.
“sip!” aku melengos pergi.
Pagi itu aku tak telat masuk kelas pertama, tepatnya lebih dulu dari dosennya yang kesiangan masuk. Tak ada yang spesial untuk mata kuliah itu, jadi kuputuskan duduk dibelakang saja. Tepat disamping Joni, biar ada teman bercanda. Dosen datang, niat bercanda ditunda.
Ditengah dosen mengajar, hanphone-ku berbunyi ada sms...
Bipbiipp...
“bel, si Gita hamil” aku tak kaget karena Gita memang sudah cukup lama menikah. Wajarlah punya anak, kalo ga hamil-hamil malah aneh.
“oh ya syukur... akhirnya hamil juga” aku malas berkomentar lebih banyak.
Bipbiiip... lagi!
“Pulang kuliah jam berapa? Nanti kita ngobrol ya...  “
“jam 10.20 aku keluar kelas tunggu di taman ya..”
Sending...
Jam yang dimaksud sudah tiba, tak enak rasanya kalau aku tak menemui Laras di taman.
“hei, Ras” aku duduk disebelahnya dan meraih botol minuman segarnya tanpa permisi.
“Bel, si Gita hamil!”
“iya.. tadi kan udah cerita. Terus?”
“makanya dengerin dulu, Bel... kemaren dia telfon aku dalam keadaan sedih, ga ngerti juga kenapa dia sedih mau punya bayi... harusnya kan seneng ya?” dia berusaha membangkitkan jiwa keibuanku yang sedang tidur.
“ya mana aku tau...” aku mulai terpancing, tapi pura-pura biasa saja.
“sedih ya Bel, kita yang pingin dari dulu malah susah... eh dia yang dikasih cepet malah ga bersyukur...” oh plis Larasati Karim, obrolanmu...
iya sih, tapi pasti dia punya alasan kuat buat kayak gitu, kita aja yang gak tau karena belum berumah tangga..” aku sok bijak.
“tapi kan Bel... kamu apa ga sayang sama temen kita itu?!” Laras mulai memaksa aku untuk peduli.
“Justru karena aku sayang, aku berusaha menghormati apapun keputusan dia... lagi pula dia belum cerita apa-apa ke aku!” aku mulai panas.
“sedih ya, Bel...” raut wajahmu kusut, aku tahu kesedihan itu tulus. Sedih untuk Gita, dan untuk dirinya sendiri.
“yaudah sih, biarin aja... eh iya, tugas buat kuliah siang nanti udah belum?’ aku mengalihkan perhatian.
“eh belum... hayu kita kerjain... kamu bawa laptop?! Aku minjem dong...”
Pengalihan topik yang aku lancarkan, berhasil. Kita mengerjakan tugas sambil ngobrol topik lain yang santai.
                                      ***

Selamat pagi... sebelas hari setelah obrolah di taman bersama Laras...
Bipbiiip...
“Bel, boleh aku nelpon?”
“boleh...”
Today i don’t feel like doing anything, i just wanna la... lagu Lazy Song dari Bruno Mars terdengar, pertanda ada panggilan masuk di handphoneku.
Gita Amelia 07.
“halooo...”
“Bel...” suaranya sedih...
“kenapa Git?”
“aku hamil Bel, tapi aku belum siap punya anak... suami aku masih pingin nabung buat bikin rumah, aku juga belum siap...” Gita langsung pada inti pembicaraan, tak peduli aku yang gelagapan.

Hey... pembicaraan macam apa ini, pagi-pagi begini ngomongin rumah tangga kacrut!

“ehm...” aku baru akan bicara, tapi terpotong.
“aku belum siap Bel, aku sama mas Anton belum mau punya anak... aku kira kemarin Cuma masuk angin, pas aku ke dokter ternyata aku hamil tiga minggu...” suara Gita yang awalnya tinggi mulai melemah.
Aku kesal. Bagaimana bisa orang yang sudah lebih dari setahun menikah, panik karena hamil. Bukannya bagus ya?
“terus aku harus gimana?”
“bel, kemarin mama Yanti ngasih aku jamu peluruh... hari ini aku pendarahan, baru dua kali minum sudah keluar. Tapi liat darah menggelontor begitu aku kok nyesel yah... gatau juga aku harus ngomong ke siapa...”

Giliran cerita bego begini, ceritanya ke aku...

“maaf ya Git, bukan aku ga peduli tapi bingung juga harus jawab apa... ngomong apapun bakal terkesan sok tau... aku belum berumah tangga, belum tau masalah-masalah begitu”
“iya Bel, makasih udah mau dengerin aku... aku gatau lagi harus ngomong ini ke siapa...” Gita terdengar kalut.
“semua udah kejadian, fikirin aja kedepannya kamu mau gimana...”
Tak ada jawaban.
“maaf aku terdengar angkuh dan kurang berempati sama masalah kamu, tapi sejujurnya aku juga bingung harus ngomong apa..”
“iya bel gapapa.. “
Baru aku mengambil nafas untuk bicara, Gita memotong..
“bel udah dulu yah, mama mertuaku datang nanti disambung lagi..”\
Tututuuuuttt...
Handphone terjatuh ke pangkuan, aku masih duduk di ujung tempat tidur. Menerawang apa yang terjadi pada rumah tangga teman kuliahku itu. Satu jam lebih aku duduk begitu. Tapi tetep ga ngerti.
                                      ***

Setengah sepuluh pagi, beberapa jam setelah telepon Gita...
Suasana kampus cerah ceria, orang kesana kemari dengan muka bebas. Oh aku baru tahu hari ini akan banyak dosen yang tak masuk karena ada acara ulang tahun kampus. Aku mengedar pandang mencari temanku Ayu dan Laras. Aku berjalan ke bangku taman tempat mereka duduk-duduk cantik.
Disana tak ada Ayu dan laras, aku berinisiatif mengirim multiple sms...
“dimana?”
Aku yang kepanasan memilih merubah haluan menuju kantin, sambil menunggu sms dibalas Ayu dan Laras. Tiga puluh lima menit kemudian...
Bel dimana? Kita di selasar. Ayu ga ada pulsa.” Sms balasan dari Laras. Aku meluncur kesana.
Mereka berdua mukanya tegang sekali. Aku mendekat dan bertanya basa-basi.
“duduk deh Bel, kita mau cerita...” Laras membuka obrolan. Romannya ini akan serius.
“Bel, Si Widya kabur...”
Ha? Kabur? Adik si Ayu yang baru semester satu itu kabur?
“kabur kemana??” oh, ini pertanyaan bego!
“ya kalo tau mah aku susul Bel...”
“Ehm maaf! Maksudnya kapan dia terakhir keliatan? Kok bisa kabur?”
Ayu terlihat sangat kalut dan tak kuasa menjawab.

Ini hari kok sedih banget, pagi-pagi denger keluhan si Gita, sekarang si Ayu. Semoga sialnya selesai sampai disini.

“si Ayu mergokin si Widya lagi nelpon pacarnya dan ngomongin kehamilan dia sama pacarnya..” Laras memulai, seperti biasanya.

What?? Lagi-lagi tentang kehamilan. Ini maksudnya apa sih?!

“terus...” aku penasaran.
“iya si Widya tau kalo aku dengerin obrolan dia di telpon semalem. Pas pagi-pagi aku bangun dia udah ga ada di rumah, mama panik dan aku ga tau harus gimana. Mama gak tau soal kehamilan Widya, aku juga taunya gak sengaja karena nguping telponan dia di ruang tamu... “ Ayu menimpali.
“udah kamu cari ke temannya..?”
“sudah... aku udah telponin semua teman-temannya tapi ga ada yang tau..” Ayu sedih.
“ehm..” aku mau bicara, tapi Ayu keburu bicara lagi.
“aku takut dia gugurin kandungannya, Bel...” Ayu berbicara nanar.
Aku memeluk Ayu, ini empati betulan.

Tuhan, kenapa yang ga pingin punya anak malah dikasih. Sedangkan yang bertahun-tahun nunggu malah ga dikasih...
aku agak protes dan sedih...

Kita bertiga sedih. Lebih-lebih aku, yang tadi pagi mendengar cerita yang sama-sama bertema kehamilan yang tak diinginkan. Kesedihan dan kegalauan jadi berlipat lipat, bergulung-gulung menerjang isi hati.
Sudah waktunya masuk kuliah, kita pura-pura kuliah. Ya pura-pura, karena yang kuliah itu badan, fikirannya kemana-mana.
Jika sedang tak konsentrasi kuliah aku biasanya lebih sering coret-coret buku. Kadang coret-coret tak bermakna, kadang curhat, kadang menghasilkan sebuah karya kacangan.
Diam-diam aku menulis, dengan ujung pulpen yang aku tutupi dengan punggung tangan biar teman sebelah tak membacanya. Tapi baru satu bait bikin puisi, konsentrasiku buyar. Aku malah ingin membuka laptop dan mencuri sinyal wi-fi kampus. Dan mulailah aku membuka situs tautan video yang paling kusuka. Aku mencari video artis cilik kesayanganku, Jackie Evancho. Tapi rasanya jadi kurang seru kalo terlalu banyak buffering. Aku matikan saja dan aku buka Ms.Word untuk mengetik dan menyalakan winamp yang tentunya sudah lebih dulu kupasang headset. Memutar lagu Jackie Evancho. Aku mulai mengetik tanpa mempedulikan dosen yang bicara di depan sana. Badanku yang mungil sudah terhalang oleh Adit.

Aku baru menulis satu kata... RINDU... aku berhenti mengetik, aku mengedar pandangan ke sekeliling, setelah merasa aman dari perhatian teman-temanku barulah aku bisa menulis lebih banyak lagi.
Rindu adalah rindu. Aku tak mau berdebat dengan siapapun mengenai rindu. Kan kubiarkan semua orang menerjemahkan rindu itu sesukanya. Jika kau mau tau rasanya rinduku itu bagaimana, maka akan aku ceritakan bagaimana gelisahnya aku jika jalan-jalan ke mall lalu melewatkan toko pernak pernik bayi, atau betapa aku hafal setiap fase kehidupan bayi dari prenatal-neonatal-postnatal karena seringnya aku membaca semua tentang itu agar nanti tak salah kaprah. Maka itulah rasa rinduku yang sebenarnya, rasa rindu yang tak hanya diketik jempol tapi dijalani oleh setiap ruas jiwa ragaku. Diamini pengetahuanku, dihempaskan udara nafasku, semuanya... bahkan alam bawah sadarku, juga!
Aku ingin ada yang berdenyut, mengalirkan separuh darahku untuk kehidupannya. Dialah kekasih yang akan merengek minta dibuatkan susu, diantar sekolah, dimintanya mengantar pipis saat malam hari tiba.
Aku akan kelelahan mencintaimu, sayangku! Bagaimana bisa cinta itu melelahkan? Bisa. Jika setiap hari aku harus bangun tidur disisimu, menyiapkan bekalmu, keluar rumah mengantarkan sekolahmu, mencium bau mataharimu, menyeka keringatmu, mencuci baju kotormu, dan mencintai ayahmu. Oh bahkan cintaku padamu mengalahkan rasa cintaku pada ayahmu, suamiku yang aku cintai beberapa saat sebelum kau ada! Makhluk apa gerangan kamu, wahai kecil mungil dan melenakan..
Boleh aku panggil kamu tuan malaikat kecil saja?
Gara-gara kamu aku jadi rajin baca, rajin dengar pengajian, ikut seminar parenting dan belajar sunggu-sunguh saat dosen menerangkan bagaimana aku harus menjadi manusia terbaik untukmu. Ah tuan malaikat kecil, belum ada saja kamu sudah begitu banyak menyebar kebaikan apalagi sudah ada.
Tapi tahukah kamu, disaat yang sama dengan ditulisnya rindu ini untukmu, ada temanmu yang bahkan belum sempat menikmati indahnya berenang dalam perut ibu tapi sudah terusir dan masuk wc. Ini mungkin akan jadi satu dari banyak bagian ceritaku untuk melatih kepekaan perasaanmu nanti kalau kamu sudah mengerti, bahwa kau amat beruntung telah dirindukan jauh-jauh hari dan di doakan keselamatannya.
semesta tahu aku ingin kamu...
Seandainya aku bagian dari alam rahim, sepertinya aku akan pingsan kelelahan menangisi warga alam rahim yang diusir dengan kejam oleh ibunya. Kamu tak sedang menangis juga disana kan sayangku? Hmm.. Tapi kalau kau tak tahan, menangislah untuk temanmu yang dikejami itu, tapi jangan lama-lama karena kau akan menyongsong bahagia bersamaku. Itu takkan terjadi padamu. Sudah... sudah...
Oh iya tuan malaikat kecil, rasanya aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Kapan kita bertemu ya? Maunya sih secepatnya... Biar aku siapkan segala sesuatunya. Biar aku belajar bagaimana caranya agar aku tetap mencintai semua yang sudah ada ini dari sekarang. Aku takut nanti kedatanganmu membuat malaikat lain cemburu.
Untukmu aku sudah siapkan beberapa file surat cinta yang aku tulis di usia awal 20-an. Beberapa memang sudah kau baca, tapi sebagiannya belum aku kirim. Biar jadi kejutan saja saat ulang tahun.
Sudah dulu ya, dua SKS memang singkat. Tau-tau dosennya sudah pamit keluar. Nanti aku kasih tau lah SKS dan dosen itu apa kalau kamu sudah jadi malaikat besar.
                                                                                             Peluk cium,
                                                                                     
                                                                                                                                        Allegra bellezia –Abel

Aku matikan laptop, bergegas meninggalkan kelas bersama Adit, Ayu, dan Laras.  
                                                          ***

         Sembilan hari kemudian...
          “Bel aku mau cerita...” Ayu terdengar lesu.
Kita mencari tempat paling sepi untuk bicara. Aku faham betul, ini akan jadi permbicaraan penting dan rahasia.
          “Mamah sudah tau soal kehamilan Widya, bel... dan mamah sedang mengusahakan pernikahan Widya minggu depan...” Ayu suaranya berat.

         Pernikahan itu... Tuhan, begini ya cara impian kami dihentikan?!

         “bayangin aja Bel, pernikahan yang aku impikan seakan hancur. Debaran menikahkanku sebagai anak perempuan pertama akan luntur karena mamah menikahkan Widya lebih dulu..” Ayu semakin emosional.
          “sabar aja yu..” aku kehabisan kata-kata.
          “aku maunya sabar, tapi... “ tangis Ayu pecah..
          Aku memeluk Ayu...
          Ayu adalah sahabatku, kami terpaut tiga tahun. Dia lahir lebih dulu. Dunia dia besar, temannya banyak, wawasannya luas. Dia adalah salah satu sahabat terbaikku selain Laras dan Adit.  Kami sama-sama terobsesi menikah muda. Bedanya aku lebih cenderung pada ingin jadi ibu, dan dia jadi istri pejabat. Setiap membicarakan itu, matanya selalu berbinar. Aku tau dia sangat menginginkannya.
Tapi kali ini aku melihat  dia benar-benar kalut. Mungkin bisa dibilang hancur. Matanya memantulkan cahaya kesedihan, tak lagi berbinar. Mimpinya dirampas oleh adik tirinya sendiri dengan cara yang curang. Dan aku sahabatnya, tak bisa berbuat apa-apa selain ikut bersedih.
                                      ***

Pernikahan itu tiba, dan tentu saja tanpa undangan. Suasananya mengerikan, bahkan jauh lebih mengerikan ketimbang sepak bola tanpa penonton. Sucinya pernikahan tak diiringi suka cita, semua senyum alakadarnya hanya untuk foto.
Ayu terbaring sakit, makanya dia tak terlihat dalam kumpulan keluarga besarnya. Aku tahu karena pada saat itu ayu tengah berbaring di balik selimut dengan mata pura-pura terpejam, padahal tangannya sibuk mengetik sms kepadaku. Melaporkan setiap detik pernikahan nista adiknya dengan Tomy.
Aku merasakan sakitnya...
Di bagian bumi yang lain, aku menangis untuk Ayu-ku...
                                      ***

Tiga bulan sudah sejak aku mendapat telepon yang berujung kesialan sepanjang hari dari Gita.
 Aku dengar dia dan Mas Anton pindah ke luar kota yang jaraknya lebih jauh. Mas Anton pindah kerja katanya. Dari status fesbuknya ia selalu pamer kebahagiaan. Ya bagaimana tidak, suaminya yang bekerja di perusahaan tambang asing pastilah menghasilkan pundi-pundi rupiah yang lebih dari lumayan. Rumahnya baru, dan sebuah city car sering kali jadi bagian dari foto-foto yang di uploadnya.
Sebagaimana pada kesedihan Ayu, yang aku ikut bersedih. ikut sakit pula. Pada kebahagiaan Gita aku malah sebaliknya. Aku melihatnya sebagai kebahagiaan semu dan sulit untuk aku ikut bahagia. Rumah tangga bahagia takkan membiarkan darah dagingnya diguyur kedalam wc. Istri yang bahagia tak mungkin menutup telepon dengan panik saat mama mertua datang mendekat.
          Aku melihatnya palsu...
                                                ***

         Hari ini aku sudah lupa berapa bulan sejak bulan oktober yang menyedihkan itu. Sekitan tiga tahunan lah. Setahun yang lalu aku meninggalkan tempat aku sekolah, aku sudah sarjana. Laras, Ayu dan adit juga.
Aku membuka laptop putih kesayanganku. Ada wallpaper foto wisuda empat orang manusia. Tiga wanita, satu pria.
          Masih dalam laptop yang sama, danMs.Word yang belum di upgrade dari yang dulu. Aku mencoba mengetik lagi, kali ini untuk Monik...
          Dialah sahabat, rekan kerja, dan saksi betapa aku mencintai hidupku enam tahun ini....
          Selamat malam monik, sudah enam tahun ya usiamu sekarang...
Kau bukan sekdar laptop canggih, kau sudah jadi bagian hidupku. Tanpamu mungkin titel mahasiswaku akan diperpanjang beberapa tahun lagi. Amit amit.
          Aku bahagia sekali monik, sahabatku Ayu kemarin menikah. Dan kau tahu? Suasananya masih sehebat yang pernah Ayu impikan dulu waktu kita kuliah. Aku melihat kesibukan malaikat kebahagiaan memenuhi hasrat semua manusia yang ada. Aku salah satunya..
          Kebahagiaan tetap menjadi kebahagiaan, cuma masalah waktu yang tepat...
          Kau tentu ikut bahagia, karena kau sahabatnya juga....
          ...................
          ........................

          Tulisan menggantung belum selesai, aku sudah ketiduran. Zzzzz....

marah!


Seringkali gue marah sama keadaan, marah sama orang-orang, marah sama segala sesuatu yang gue fikir pernah mengkhianati gue. Mengkhianati? Ah macam mana pula?! Maksudnya mengkhianati harapan gue, maunya A jadinya B, enaknya A eh dapetnya B...bisa aja kan?! Dan rasa marah itu ada yang terjadi cuma semenit saja, sejam, sehari, setahun, tiga tahun dan.. dan... ada yang sedari kecil sampai dewasa ga pernah reda.
Satu kata marah itu dahsyat, bisa menyisihkan kata-kata lain yang lebih mulia. Saat marah, gue kayak dibuat lupa dengan kata-kata yang namanya pengertian, pemaafan, alasan, toleransi dan sebagai-bagainya. Kata marah sepertinya sudah ditulis besar-besar dalam kamus otak yang tadinya menampung lebih dari satu milyar kata, ditulis dalam font sebesar mungkin sampai yang semilyar itu dikalahkan.
Pathetic!
Hampir duapuluh satu tahun gue kenal sama yang namanya marah, walaupun gue lebih akrab sama tawa dan becandaan yang rasanya lebih asik. Namanya manusia, pastilah gue dapet jatah buat menikmati sensasi rasa marah itu. Dan selama lebih dari dua dekade itu, gue belajar mengubah-ubah sensasi marah itu ke bentuk yang paling enak di hati. Karena jauh dilubuk hati, gue terima rasa marah ini sebagai anugrah. Entah kenapa gue sadar bahwa dalam marah ada satu sensasi otentik yang ga bisa diganti sensasi yang lain. Setiap ekspresi marah yang dikeluarkan, punya efek yang berbeda: kadang lega, sembuh, atau malah tambah gak enak hati. Tentunya tiap orang berharap habis dia marah hati jadi lega. Kesimpulannya dalam beberapa hal, marah itu perlu. Jadi gue berusaha menghidupkan rasa marah dalam hati dengan cara gue sendiri. Salah ngurus sedikit aja, rasa marah malah makan hati kita sendiri.
Waktu kecil, ekspresi marah cukup gue tunjukan dengan nangis kejer dan lempar-lempar barang. Beberapa kali gue begitu, tapi balesannya malah tambah parah. Ekspresi kemarahan macam itu malah mengundang kemarahan yang lebih besar dari ibu, yang mana itu malah menyebabkan gue semakin gak enak hati. Setelah gue fikir-fikir lagi, gue memutuskan buat mengganti ekspresi marah gue dengan ekspresi lain. Gue mikir dengan cara anak kecil, dan gue ga nemu ekspresi marah paling enak saat itu. Emang Cuma saat marah ide-ide berekspresi itu muncul.
Agak gedean dikit, rasa marah gue tercermin dari penurunan prestasi. Kekecewaan gue sama banyak hal bikin gue kehilangan gairah buat jadi anak pinter. Dengan lari dari beban peringkat satu di kelas, gue kira gue bakal merasa puas. Dengan melupakan nikmanya dipuji-puji orang, gue kira perilau jahat dari orang lain akan musnah. Entah darimana ide itu muncul, tapi setelah gue percobakan selama beberapa tahun, hasilnya juga ga bikin gue ngerasa puas. Sensasi melegakan yang gue harapkan, ternyata ga gue dapetin. Yang ada malah cap jek dan dugaan yang engga-engga mulai merebak. Lebih dari itu, derita demi derita muncul mengiringi masa-masa gue mengekspresikan rasa marah dengan cara begini. Bodoh iya, tenang boro-boro. Entah berapa tahun, tapi kemudian gue sadar dan mencari bentuk ekspresi baru dengan harapan setiap gue marah setiap itu pula gue mendapatkan kelegaan, atau yaa setidaknya keadaan membaiklah.
Masa remaja adalah salah satu fase hidup yang harus gue jalani, segala sesuatunya membesar. Fisik gue, keinginan, kekecewaan, masalah, beban akademik dan semua-muanya membesar. Seinget gue di masa-masa ini terakhir kali gue merasakan tinggi dan badan gue masih bertambah. Dari saat itu sampe sekarang, badan gue gak keliatan lagi ada perubahan yang signifikan. Kembali ke marah, segala sesuatu yang membesar itu muncul dan gue memutuskan untuk marah dengan gaya baru, marah dengan cara lama sudah ga efektif. Di  saat-saat ini kalo gue kecewa, gue mulai mengkespresikan kemarahan dengan pergi. Perginya bukan pergi jauh naik pesawat, tapi secara psikologis gue mulai menjauh dan melepaskan  diri dari apa yang bikin gue marah. Saat guru ngeselin, gue cari cara biar jarang ketemu. Saat temen gue curang, gue memutuskan untuk sendiri, gue tinggalin temen-temen (termasuk temen yang baik) masa bodo apa kata orang tapi saat itu gue memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan teman macam apapun walaupun ada beberapa orang yang terbuka menawarkan diri jadi teman. Dan saat orang rumah ngecewain, gue menghindar dari aktifitas dan semacam melupakan status gue sebagai anak, percaya atau tidak gue pernah hidup dengan prinsip robot : semua yang orang-orang harapkan, gue kerjain dengan baik tapi ga pake perasaan, ngeri memang saat semua orang muji gue sebagai anak rajin tapi gue sendiri hampa. Acara marah kayak gini ternyata kurang efektif, kerena boro-boro bikin hati tenang malah bikin orang lain keenakan dan mengesalkan dalam taraf yang lebih lupa diri. Aah itulah kemarahan remaja!
Di masa-masa sekitar remaja akhir, gue pernah menemukan ide gila dalam ekspresi kemarahan. Masih dalam tujuan yang sama : yaitu membuat hati gue tenang, dan bikin yang lain berhenti ngulangin hal yang mengecewakan gue. Dalam suasana kacau balau itu, secara spontan gue tiba-tiba mendapat  ilham untuk menyempurnakan gaya marah yang sudah ada, dari Cuma pergi menarik diri dan menghindar menjadi pergi dalam arti sesungguhnya. Suatu hari gue kecewa berat, gue dituduh melakukan hal-hal yang jelas-jelas ga pernah gue lakukan. Jiwa remaja gue terhina, hati gue luka berat, dan kekecewaan gue pada saat itu termasuk yang terberat dari apa yang pernah gue rasakan sebelumnya. Maka dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam saja dari detik yang membuat  gue marah, gue sudah tiba di kota yang berbeda untuk pergi. Tunggu, gue pergi bukan mau lari dari masalah loh. Di usia gue yang masih keitung labil begitu juga gue udah sadar kalo masalah itu bukan buat ditinggal hidup-hidup tapi diselesaikan sampai mati. Tujuan gue pergi itu tidak lain dan tidak bukan adalah buat nyelesain masalah. Dari sekitar semilyar perbendaharaan kata di otak gue, gue ga nemu kalimat yang tepat buat mengobati rasa terhina gue dan menyadarkan orang itu kalo gue terluka, dari kebuntuan itulah tiba-tiba gue dapet ide buat marah secara nonverbal tapi dengan cara yang lebih keras. Gue pergi jauh naik bis tanpa pamit, biar orang itu tau kalo gue amat terhina. Yang ada di benak gue sebenernya banyak, gue mau pergi jauuuuh sekali, hidup sendirian diluar sana tanpa tergantung berlebihan sama pihak manapun. Tapi belum juga ide besar itu terealisasikan, hari kedua kepergian gue di kota yang jaraknya kurang lebih 50km dari rumah, gue udah bikin panik orang-orang dan gue mengurungkan niat meneruskan itu karena ternyata saat itu (saat gue marah besar) gue masih punya rasa cinta yang jauh lebih besar buat kedua orang tua gue. Gue mulai mengkhawatirkan keadaan mereka yang katanya khawatir juga sama keadaan gue diluar sana. Dengan sedikit bujukan saja, gue berhasil mereda dan pulang kerumah. Orang-orang bilangnya gue “kabur”, sekitar seminggu orang-orang masih berkomentar soal gue yang kabur. Kalo tembok ada suaranya juga mungkin tembok ikutan bergunjing betapa konyolnya gue dan menerka-nerka apa yang menjadi penyebab kemarahan gue dan darimana ide itu muncul. Tapi apapun istilahnya, papaun komentar orang, gue menghargai peristiwa itu sebagai peristiwa kebangkitan. Dari situ gue belajar mengambil hikmah dari apa yang gue lakukan, lebih dari itu mata hati gue mulai bisa melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Dari situ gue sadar kalo rasa marah itu tak dikendalikan dengan baik akan membawa sesuatu yang lebih buruk, dan lebih menyakitkan atau bahkan lebih menghinakan bagi diri gue sendiri dan orang lain. Seinget gue, itulah cara marah paling ekstrim yang pernah gue ekspresikan. Mungkin bagi sebagian orang, itu belum apa-apa. Tapi gue bersyukur karena ga melakukan hal yang lebih parah dari itu, apa jadinya kalo gue sampe mendapat ilham buat berbuat yang lebih gila dari itu : apakabar keselamatan gue? Apakabar nama baik keluarga gue? Apakabarnya harapan besar orang-orang yang mencintai gue?
Masuk usia 20 tahun, status gue masih mahasiswa seperti yang diperkirakan. Udah lama banget gue ga marah dengan sensasional. Gue yang sekarang lebih suka marah dengan gaya baru, yang entah kapan akan berubah lagi. Sekarang saat gue kecewa gue ekspresikan kemarahan gue dengan cara berusaha berbuat lebih baik dengan harapan keadaan berubah menjadi karma baik. Dalam tingkat kemarahan yang lebih, besar gue lebih seneng “mendiamkan” dan membiarkan dia mencari tahu sendiri apa yang membuat gue marah dan apa yang sebaiknya dilakukan. Gue lebih seneng berdoa biar Tuhan gerakkan hati gue jika memang kesalahannya malah berasal dari gue, atau hati orang yang jahatin gue biar kembali baik lagi. Walaupun belum sempurna, tapi hidup dengan marah yang sekarang gue merasa lebih baik. Gue belajar hidup sebaik dan seminim mungkin dalam memicu kemarahan orang lain. Mungkin karena pengalaman dulu-dulu sudah memberi cukup banyak pelajaran, sekarang gue lebih hati-hati dalam marah. Jangan sampai kemarahan gue malah memicu masalah yang lebih besar. Selain dari kesehatan lahir batin gue, gue sangat menjaga kelangsungan usaha gue membangun kehidupan yang lebih baik, dan gue gak mau segala yang udah gue bangun jadi rusak gitu aja karena gue salah memilih ekspresi kemarahan.
Di usia yang baru dengan status yang baru nanti, dan kehidupan gue yang lebih baru lagi mungkin gue akan menemukan ide dan gagasan baru gue mengenai marah. Permasalahan yang akan gue hadapin, dan pengalaman yang udah gue laluin mungkin akan melahirkan ide baru buat gue dalam mengekspresikan kemarahan. Dari sekarang gue tagaskan, gue Cuma ingin mengubah bentuk marah itu jadi sesuatu yang lebih baik, lebih baik, dan lebih baik lagi. Bukan menggantinya dengan ekspresi lain. Marah biarlah menjadi marah, karena marah diciptakan untuk tujuannya sendiri, karena marah ada untuk menyempurnakan kehidupan gue sebagai manusia, tanpa itu mungkin gue kehilangan separuh unsur gue sebagai manusia. Entah jadi spesies apa namanya.
Sekian pengalaman gue tentang marah, besok lusa mungkin gue bakal ceritain lagi gimana sisi kehidupan gue yang lain. Prinsip gue, marah bukan sesuatu yang melulu menjadi simbol ketidak baikan. Marah dalam pengasuhan orang yang tepat malah bisa jadi pemicu keberhasilan hidup seseorang. Tanpa membagus-baguskan hidup gue, tapi kalo gue liat orang sesama gue masih marah dengan cara nangis kejer dan lempar ini itu gue jadi pengen ketawa dan seringkali ga ngerti kenapa cara marah jaman bocah masih dipake aja di jaman yang serba canggih ini. Kasian liatnya.
Ini pendapat gue pribadi loh, bukan berdasarkan teori-teori ilmuwan. Benar atau salah semoga ga ada yang dirugikan.
Oia, buat yang sering baca tulisan gue sebelumnya pasti aneh kenapa disini gue pake kata ganti “gue” buat nyebut diri sendiri. Jawaban tepatnya gue juga gak tau, tapi ada sensasi berbeda ketika gue bercerita dari sudut pandang gue : tanpa merasa sok gaul “gue” serasa ringan, tulisan gue tentang marah ini sesungguhnya berat dan sensitif (bisa membongkar luka lama dan menyinggung pihak lain misalnya) jadi gue perlu membuatnya lebih ringan, dan gak ada rasa gue lebih baik atau lebih bijak dari yang lain (lebih tua apalagi). Itu yang menyebabkan gue yang berdarah sunda tulen ini pertama kalinya memberanikan menyebut diri sendiri dengan kata ganti “gue”.
Terakhir, saat rasa marah kita biarkan liar maka yang kita peluk adalah taring macan. Tapi saat rasa marah kita rawat untuk selalu lebih baik, maka apa yang kita peluk adalah suatu kekuatan yang terkendali dan dayanya telah kita ketahui.
Selamat siang, selamat memeluk marahmu sendiri... J