-Akang
Sebelumnya aku pernah jatuh cinta, itu sudah lama sekali.
Sampai kita berteman dan aku merasa seperti jatuh cinta, iya cinta yang lain
lagi dan berbeda dari yang pernah aku alami. Memang benar, aku wanita sunda,
aku tak pantas mengaku cinta sebelum yakin lelakinya benar-benar sudah
dihadapan dan bilang cinta.
Waktu berlalu, aku mulai senang menghubungimu walau Cuma
buat bertukar kabar atau pura-pura bertanya sesuatu yang tidak penting.
Ditambah lagi dengan pertemuan-pertemuan tak terduga yang menyenangkan, aku
semakin hanyut dalam perasaan-perasaan tak bernama itu. Kita bicara banyak,
soal hidup, soal uang, soal masa depan, semuanya. Setidaknya menurutku, itu
semua hal. Aku mulai terbiasa membicarakan apa yang sesungguhnya aku tutupi
untuk orang lain. Aku semakin melihat aku dalam dirimu, melihat masa depanku
dalam masa depanmu. Itu semua tak pernah aku bayangkan, apalagi aku rencanakan.
Semuanya mengalir begitu saja. Aku semakin memperhitungkan perasaanmu saat akan
mengambil keputusan. –padahal kamu biasa
saja
Hari demi hari, bicara demi bicara, gosip demi gosip
kemudian membawa perasaanku semakin tak terkendali. Aku jadi jatuh cinta
betulan, pada orang yang pada akhirnya
bilang dia tak cinta sedikitpun...
Sampai saat itu ada, dan aku harus mengambil keputusan. Aku
bertanya padamu lewat surat itu, dan kau menjawabnya dengan bahasa kabur. Aku
tadinya sudah akan mengerti kalau kamu tak ada perasaan sedikitpun, tapi
kemudian cerita menjadi berubah saat kamu mulai belajar memahamiku, belajar
menyenangkan, dan belajar meyakinkan aku agar aku sediakan seluar-luasnya sabar
untuk menghadapimu. Aku semakin yakin pada perasaan ini, aku mulai yakin pada
bentuk lain aku dan kamu kita.
Pertemuan demi pertemuan yang kita rencanakan, sebagian
berhasil sebagian tidak. Tahukah kamu bahwa aku tak pernah berani benar-benar
menatapmu saat membuka pintu, aku selalu gugup, aku selalu menghabiskan satu
lemari untuk terlihat cantik di depanmu.. aku selalu ingin memberikan sentuhan
terbaik pada setiap makanan dan minuman untukmu. Itu yang sebenarnya terjadi di
detik-detik sebelum kau datang menjemput aku.
Tahukah kamu aku pernah hampir menangis di bis saat tahu kau
akan mengajakku bertemu tapi aku sudah keburu pergi, aku menyesal sekali.
Tahukah kamu aku bahagia sekali membaca i
love u pertamamu tempo hari, tahukah kamu aku tersentuh setengah mati saat
kau bilang kau takkan membiarkan aku makan sendiri jika saja jarak kita
dekat... ya, aku wanita yang selalu percaya pada ucapanmu!
Aku mencintaimu wahai
lelaki yang katanya tak cinta aku...
Kata-kata itu memang tak pernah aku ucapkan secara verbal
kepadamu, tapi setiap kita berhadapan dan aku tak bicara apa-apa saat itulah hatiku
sedang menyebutnya. Juga setiap pagi sebelum kamu melepas mimpimu, aku sudah
menyebutnya berkali-kali dalam doa.
Dalam banyak pertemuan, obrolan soal masa depan,
pertengkaran, aku merasa sedang tumbuh. Tumbuh menjadi aku yang lebih baik, menjadi
aku yang tak cuma bisa aku nikmati sendiri tapi juga denganmu... aku selalu
berusaha menjadi menyenangkan untukmu.
Aku semakin mencintaimu...
Aku mencintai kencan kita yang biasa, aku mencintai sentuhan
pertama kita yang selalu berhasil kita tunda untuk waktu yang tepat, aku
mencintai caramu meredam jiwa beliaku, pun aku mulai mencintai jam tidurmu yang
sebenarnya tak pernah aku perkenankan...
Sampai hari minggu itu datang, bulan keempat dari cinta semu
kita, setelah diammu tiga hari penuh kamu bilang ingin berbalik pergi.
Meninggalkan aku seolah kita tak pernah ada apa-apa. Berbicara lugas soal cinta
yang tak ada, seolah tak pernah menjanjikan harapan apa-apa. Kamu pergi
meninggalkan aku yang Cuma bisa menangis saat itu, tangis panjang yang
menyimpan banyak makna... ketidakmengertian,
luka, rasa kehilangan, dan rasa tak percaya sentuhan pertamamu akan begitu
menyakitkan
Aku seperti kehilangan pegangan, aku limbung, aku kau paksa
menghapus jejak yang kau buat sendiri sedangkan sepenuh hati aku tak ingin
melakukannya. Airmata tak bisa lagi aku sembunyikan, hati yang luka tak bisa
aku senyumkan. Ada rasa sesal tak menahanmu pergi, ada rasa tak percaya orang
yang setiap hari aku sebut namanya dalam doa kemudian berbalik pergi
meninggalkan aku menangis sendirian...
Aku tak punya teman bicara sekarang. Semua yang mendengar menjadi sangat
reaktif, ada yang bertanya-tanya kenapa aku bisa jatuh kepelukanmu, ada yang
mengasihani, ada yang menghakimi, ada yang diam-diam meradang. Aku tak menjawab
apapun yang mereka inginkan, sehari semalam aku menangis sendirian saja.
Hari-hari berlalu dengan sangat lamban, dan aku semakin
sendirian. Bicara pada oranglain tak akan membuat aku lebih baik.
Kuberanikan diri menulisnya disini karena kamu yang akan membacanya sendiri,
kamu yang tahu kenapa jadi begini.
Jangan pernah merasa aku pernah menahanmu, tulisan ini
sekalipun tak aku buat untuk menahanmu. Aku hanya ingin meringankan apa yang
aku pikul sendirian berhari-hari. Aku Cuma mencoba menuliskan apa yang menurutku
belum selesai aku beritahukan padamu karena keburu kau akhiri. Orangtuaku
bilang wanita sunda tak pantas begini, tapi sepertinya hati tak mengenal nama
suku. Semoga keputusanku benar, aku cuma mengatakan saja bukan menghinakan diri
dan memelas agar kamu kasihan dan merubah keputusan.
Jika ketenangan sejati untukmu adalah kebebasan, aku telah
memberikannya dengan sempurna...
Banyak doa kebaikan untukmu, teman...