Jumat, 08 Juni 2012

cinta yang besar dalam doa...


24 mei dini hari...
Pagi ini sebelum doa ada sisa tenaga untuk bicara
Tapi suaraku tak pernah sampai, aku tak bisa menelepon tanpa seizinmu
Aku sudah menganggapnya wajar...

Cinta kita tak punya tanggal lahir, pun tak punya tempat tuk disebut
Untunglah cinta yang kita punya besar dalam doa, bertumbuh dalam luas pengertian
Tak perduli soal angka-angka... tanggal, usia, jumlah, berat badan..

Dari namamu tak pernah ada dalam ingatan, lalu samar-samar terasa sering terbayang, sampai kini jelas selalu aku sebut dalam berkas-berkas doa yang ku panjat setiap shalat...
Aku menyebutnya cinta...
pun ketika kamu diam saja, tak pernah bilang cinta
tapi aku selalu merasa ke hatimu lah aku akan pulang, walau banyak pintu lain terbuka...
itulah cinta, yang besar dalam doa...

sering aku tak tahu apa yang terjadi, saat tiba-tiba kamu menjadi manis..
sering aku jadi merasa ingin sekali menahanmu saat kita akan berpisah...
setiap perjalanan malu-malu, setiap pembicaraan absurd di ruang tamu,
adalah episode yang selalu ingin ku ulang-ulang...
kencan yang sangat biasa, tapi menyenangkan...
ialah cinta yang besar dalam doa...

kita sering melewatkan saat-saat untuk bermesraan,
bukan tak bisa tapi tak ingin saja kita kehilangan rasa rindu untuk merasakannya...
aku ingin segalanya terjadi disaat yang tepat, begitupun kamu
kita akan menunggu...
kau lelaki baik, kau mengaturnya dengan baik ; tatapan, letak duduk, dan segalanya...
aku ikut saja, walau sesekali masih ada manja..
biar wajah-wajah kita cukup jadi penghias insomnia saja...

inilah cinta yang besar dalam doa...
cinta yang menahan ketika aku ingin menangis dipelukanmu...
cinta yang menahan keinginanmu mengecup aku sebelum berpisah...
cinta yang punya maaf bahkan lebih banyak dari kesalahan yang tersedia...
cinta yang lebih sigap menerima pesan lebih dari blackberry kita...

seringkali aku marah, dan kau selalu membawa aku tenggelam ke sedalam-dalam samudra biar mereda...
sering aku menangis meminta apa yang aku mau, aku ingin menempelkan pipiku didadamu menangis dipelukanmu...
sering aku cemburu pada teman tertawamu...
aku sering ingin ini itu darimu...
tapi kamu diam, kukira kau sedang menahannya...

bulan keempat


-Akang
Sebelumnya aku pernah jatuh cinta, itu sudah lama sekali. Sampai kita berteman dan aku merasa seperti jatuh cinta, iya cinta yang lain lagi dan berbeda dari yang pernah aku alami. Memang benar, aku wanita sunda, aku tak pantas mengaku cinta sebelum yakin lelakinya benar-benar sudah dihadapan dan bilang cinta.
Waktu berlalu, aku mulai senang menghubungimu walau Cuma buat bertukar kabar atau pura-pura bertanya sesuatu yang tidak penting. Ditambah lagi dengan pertemuan-pertemuan tak terduga yang menyenangkan, aku semakin hanyut dalam perasaan-perasaan tak bernama itu. Kita bicara banyak, soal hidup, soal uang, soal masa depan, semuanya. Setidaknya menurutku, itu semua hal. Aku mulai terbiasa membicarakan apa yang sesungguhnya aku tutupi untuk orang lain. Aku semakin melihat aku dalam dirimu, melihat masa depanku dalam masa depanmu. Itu semua tak pernah aku bayangkan, apalagi aku rencanakan. Semuanya mengalir begitu saja. Aku semakin memperhitungkan perasaanmu saat akan mengambil keputusan. –padahal kamu biasa saja

Hari demi hari, bicara demi bicara, gosip demi gosip kemudian membawa perasaanku semakin tak terkendali. Aku jadi jatuh cinta betulan, pada orang yang pada akhirnya bilang dia tak cinta sedikitpun...

Sampai saat itu ada, dan aku harus mengambil keputusan. Aku bertanya padamu lewat surat itu, dan kau menjawabnya dengan bahasa kabur. Aku tadinya sudah akan mengerti kalau kamu tak ada perasaan sedikitpun, tapi kemudian cerita menjadi berubah saat kamu mulai belajar memahamiku, belajar menyenangkan, dan belajar meyakinkan aku agar aku sediakan seluar-luasnya sabar untuk menghadapimu. Aku semakin yakin pada perasaan ini, aku mulai yakin pada bentuk lain aku dan kamu kita.

Pertemuan demi pertemuan yang kita rencanakan, sebagian berhasil sebagian tidak. Tahukah kamu bahwa aku tak pernah berani benar-benar menatapmu saat membuka pintu, aku selalu gugup, aku selalu menghabiskan satu lemari untuk terlihat cantik di depanmu.. aku selalu ingin memberikan sentuhan terbaik pada setiap makanan dan minuman untukmu. Itu yang sebenarnya terjadi di detik-detik sebelum kau datang menjemput aku.

Tahukah kamu aku pernah hampir menangis di bis saat tahu kau akan mengajakku bertemu tapi aku sudah keburu pergi, aku menyesal sekali. Tahukah kamu aku bahagia sekali membaca i love u pertamamu tempo hari, tahukah kamu aku tersentuh setengah mati saat kau bilang kau takkan membiarkan aku makan sendiri jika saja jarak kita dekat... ya, aku wanita yang selalu percaya pada ucapanmu!

Aku mencintaimu wahai lelaki yang katanya tak cinta aku...

Kata-kata itu memang tak pernah aku ucapkan secara verbal kepadamu, tapi setiap kita berhadapan dan aku tak bicara apa-apa saat itulah hatiku sedang menyebutnya. Juga setiap pagi sebelum kamu melepas mimpimu, aku sudah menyebutnya berkali-kali dalam doa.

Dalam banyak pertemuan, obrolan soal masa depan, pertengkaran, aku merasa sedang tumbuh. Tumbuh menjadi aku yang lebih baik, menjadi aku yang tak cuma bisa aku nikmati sendiri tapi juga denganmu... aku selalu berusaha menjadi menyenangkan untukmu.

Aku semakin mencintaimu...

Aku mencintai kencan kita yang biasa, aku mencintai sentuhan pertama kita yang selalu berhasil kita tunda untuk waktu yang tepat, aku mencintai caramu meredam jiwa beliaku, pun aku mulai mencintai jam tidurmu yang sebenarnya tak pernah aku perkenankan...

Sampai hari minggu itu datang, bulan keempat dari cinta semu kita, setelah diammu tiga hari penuh kamu bilang ingin berbalik pergi. Meninggalkan aku seolah kita tak pernah ada apa-apa. Berbicara lugas soal cinta yang tak ada, seolah tak pernah menjanjikan harapan apa-apa. Kamu pergi meninggalkan aku yang Cuma bisa menangis saat itu, tangis panjang yang menyimpan banyak makna... ketidakmengertian, luka, rasa kehilangan, dan rasa tak percaya sentuhan pertamamu akan begitu menyakitkan

Aku seperti kehilangan pegangan, aku limbung, aku kau paksa menghapus jejak yang kau buat sendiri sedangkan sepenuh hati aku tak ingin melakukannya. Airmata tak bisa lagi aku sembunyikan, hati yang luka tak bisa aku senyumkan. Ada rasa sesal tak menahanmu pergi, ada rasa tak percaya orang yang setiap hari aku sebut namanya dalam doa kemudian berbalik pergi meninggalkan aku menangis sendirian...

Aku tak punya teman bicara sekarang. Semua yang mendengar menjadi sangat reaktif, ada yang bertanya-tanya kenapa aku bisa jatuh kepelukanmu, ada yang mengasihani, ada yang menghakimi, ada yang diam-diam meradang. Aku tak menjawab apapun yang mereka inginkan, sehari semalam aku menangis sendirian saja.
Hari-hari berlalu dengan sangat lamban, dan aku semakin sendirian. Bicara pada oranglain tak akan membuat aku lebih baik. Kuberanikan diri menulisnya disini karena kamu yang akan membacanya sendiri, kamu yang tahu kenapa jadi begini.

Jangan pernah merasa aku pernah menahanmu, tulisan ini sekalipun tak aku buat untuk menahanmu. Aku hanya ingin meringankan apa yang aku pikul sendirian berhari-hari. Aku Cuma mencoba menuliskan apa yang menurutku belum selesai aku beritahukan padamu karena keburu kau akhiri. Orangtuaku bilang wanita sunda tak pantas begini, tapi sepertinya hati tak mengenal nama suku. Semoga keputusanku benar, aku cuma mengatakan saja bukan menghinakan diri dan memelas agar kamu kasihan dan merubah keputusan.
Jika ketenangan sejati untukmu adalah kebebasan, aku telah memberikannya dengan sempurna...


Banyak doa kebaikan untukmu, teman...